admasyitoh.com

Tentang Kusta: Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!

20 comments

Di usia yang masih sangat muda, yaitu 6 tahun, Al Qadri tidak pernah membayangkan akan mengalami kejadian yang sangat menyakitkan dalam hidupnya. Ia ditolak dari sekolah dasar, bahkan sesaat sebelum ia memulai jenjang pendidikan dasar tersebut. 

Kepala sekolah mengatakan, ia belum cukup umur untuk masuk sekolah. Namun ternyata alasan tersebut hanyalah bahasa lain dari kekhawatiran orang tua teman-temannya kepada penyakit yang menimpa Al Qadri. Saat itu kusta memang masih dianggap sebagai penyakit kutukan dan sangat menular. Penyakit yang menyeramkan walaupun hanya disebutkan namanya. Kepala sekolah memilih kata 'belum cukup usia' alih-alih berterus terang ia terserang 'kusta yang menular'. 

Al Qadri memang menyadari di lututnya ada bercak yang mati rasa. Tetapi ia tidak mengira kalau bercak tersebut adalah kusta. Sampai suatu ketika orang tua seorang temannya mengatakan bahwa itu adalah tanda kusta.

Tidak butuh waktu lama sampai kepala sekolah mendengar berita tersebut. Hingga akhirnya ia diberhentikan dari sekolah dasar. Para orang tua takut jika Al Qadri menulari anak-anak mereka. Dan begitulah Al Qadri berhenti dari sekolah serta mengawali kehidupan yang tidak adil dan diskriminatif, bukan hanya bagi dirinya tetapi juga keluarganya. 

Pengalaman Berjuang dengan Kusta

Bagi Al Qadri, berjuang dengan kusta hakikatnya adalah melawan penyakit dan stigma. Pandangan masyarakat yang negatif tentang kusta sering kali membuat para penyintasnya mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan. Inilah yang dialami Al Qadri bertahun-tahun lamanya. 

Pasca berhenti dari sekolah, sekitar tahun 1970an, Al Qadri mulai menjalani kehidupannya sebagai penyintas kusta. Ia dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya. Para orang tua membatasi pergaulan dengan teman sebayanya. Bahkan dalam acara keluarga besar pun ia dikucilkan oleh saudara-saudaranya. 

"Sakit kustanya tidak seberapa. Tetapi sakit diskriminasinya itu yang sangat terasa..." (Al Qadri, OYPMK & Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional) 

Perlakuan diskriminatif yang diterima tak lantas membuatnya berlarut-larut dalam kesedihan. Tahun 1980an ia mengikuti kelas pemberantasan buta aksara dan angka di dekat rumahnya. Program yang sebetulnya ditujukan bagi orang-orang dewasa. Tetapi dari sanalah ia bisa mengenal huruf dan membaca. Pelajaran yang ia harapkan bisa diperoleh dari bangku sekolah formal. 

Bertahun-tahun berjibaku dengan kusta, di tahun 1989 kondisinya memburuk. Kulitnya penuh luka di sana-sini. Parahnya lagi jari-jemari tangannya mulai habis dimakan kusta. 

Saat itu informasi tentang kusta masih sangat minim. Orang tuanya sudah melakukan berbagai upaya untuk menyembuhkan Al Qadri. Mulai dari obat-obat medis hingga obat tradisional. Mulai dari puskesmas, rumah sakit, hingga 'orang pintar'. Semua upaya sudah dicoba, tetapi kondisinya tak kunjung membaik. 

Kemudian suatu hari pertolongan Tuhan itu pun datang. Melalui perantara orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), Al Qadri mendapat perawatan yang tepat. Kondisinya berangsur membaik dan kusta itu lama-lama sembuh. 

Kasus Kusta Indonesia Peringkat Ketiga di Dunia

Di Indonesia sendiri kusta telah lama menjadi momok yang mengancam masyarakat. Bisa dibilang kusta adalah penyakit kuno yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita hidup. Sayangnya, hingga saat ini kusta masih belum bisa teratasi dengan baik, bahkan seperti makin terabaikan. 

Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah temuan kusta baru di Indonesia masih cenderung tinggi, mencapai 16.000 sampai 18.000 kasus. Angka ini merupakan peringkat terbanyak ketiga di dunia setelah Brazil dan India. 

Pemerintah bukan menutup mata terhadap realita ini. Dulu memang informasi tentang kusta masih sangat terbatas. Namun sekarang, seiring dengan perkembangan teknologi, sebetulnya informasi tentang kusta dapat kita temukan dengan mudah. Cukup dengan menggerakkan jari, informasi terkait kusta dapat kita baca sendiri. 

Pemerintah telah menyediakan pengobatan gratis bagi pasien kusta di puskesmas-puskesmas seluruh negeri. Organisasi-organisasi peduli kusta pun banyak bermunculan demi menggapai cita-cita Indonesia nol kusta. Seperti NLR Indonesia yang berfokus untuk memberantas kusta di Indonesia. 

Berkenaan dengan hal ini, NLR Indonesia bekerja sama dengan KBR Indonesia menggelar Talkshow Ruang Publik KBR pada hari Rabu, 26 Januari 2022 lalu. Acara ini sekaligus untuk memperingati Hari Kusta Sedunia setiap akhir Januari. Dengan mengusung tema "Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya" NLR Indonesia dan KBR Indonesia mengajak seluruh komponen masyarakat untuk lebih peduli pada kondisi Indonesia saat ini yang masih terbelenggu stigma kusta. Informasi tentang acara ini saya dapatkan dari komunitas 1minggu1cerita

Menghadirkan pemateri dr. Astri Ferdiana (Technical Advisor NLR Indonesia) dan Bapak Al Qadri (OYPMK & Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional), talkshow yang berlangsung selama 60 menit ini membahas tentang kusta dari kacamata medis serta stigma masyarakat yang masih menghantui para penyandang kusta. 

Kusta dalam Kacamata Medis

Kusta adalah penyakit infeksi yang bersifat kronis atau menjangkiti dalam jangka waktu lama. Penyebabnya adalah bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang ujung-ujung saraf atau saraf tepi, termasuk kulit. Jika menyerang saraf-saraf organ penting seperti mata, tangan dan kaki, bakteri ini bisa menyebabkan kerusakan anatomi tubuh. Apalagi jika terlambat diobati, kusta bisa menyebabkan disabilitas atau kecacatan organ pada penderitanya.

Dalam acara Talkshow Ruang Publik KBR lalu, dr. Astri Ferdiana memaparkan bahwa ciri-ciri utama penyakit kusta adalah munculnya bercak pada kulit yang mati rasa. Bisa bercak merah atau putih, mirip seperti panu atau penyakit kulit lainnya. Bedanya, kusta menimbulkan efek mati rasa pada kulit. Tidak seperti penyakit kulit lain yang menimbulkan sensasi gatal, sakit, perih atau nyeri, maupun bersisik jika digaruk. 

Karena mati rasa inilah banyak orang yang menganggap remeh dan mengira penyakit kulit biasa yang nanti akan hilang dengan sendirinya. Akibatnya banyak orang tidak berobat dan akhirnya memperparah infeksi yang terjadi. 

Kusta merupakan penyakit menular. Namun yang perlu digaris bawahi adalah kusta tidak serta merta menular dari satu orang ke orang lain. Artinya, kusta tidak semudah itu menular antar sesama manusia. Tidak seperti flu atau TBC yang gampang sekali menular melalui pernafasan (udara yang kita hirup), kusta menular jika terjadi kontak erat dengan penderita kusta yang belum diobati secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama

Nah, kabar baiknya adalah penderita kusta yang telah mendapatkan pengobatan atau perawatan, meskipun belum selesai prosesnya, cenderung tidak bisa lagi menularkan kusta pada orang lain. 

Meski demikian, kusta harus segera diobati agar tidak memburuk dan berujung pada disabilitas atau kecacatan organ tubuh. Pengobatan dan perawatan yang cepat dan tepat bisa mencegah kecacatan bahkan menyembuhkan kusta secara permanen.

Penularan kusta juga dipengaruhi oleh kondisi imunitas tubuh seseorang. Orang dengan imunitas tubuh yang baik tidak akan mudah tertular. Sebaliknya, orang dengan imunitas tubuh yang kurang berpeluang lebih besar untuk tertular. Itulah mengapa anak-anak kadang lebih rentan terinfeksi daripada orang dewasa karena sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang secara maksimal.

Penting sekali untuk segera mengobati kusta demi mencegah penularan pada anak-anak. Meskipun sampai saat ini tidak ada vaksin untuk kusta, tetapi pemerintah menyediakan obat pencegahan kusta bagi orang yang rentan. Obat pencegahan ini biasanya diberikan kepada keluarga yang di dalamnya ada anggota terdiagnosis kusta. 

Misalnya, dalam sebuah keluarga si ayah divonis kusta. Maka, si ibu, anak, serta anggota keluarga lain yang melakukan kontak erat dengan si ayah, akan diberi obat pencegahan kusta. Obat ini berupa obat oral yang cukup dikonsumsi satu kali. Dosisnya menyesuaikan dengan usia dan tidak diberikan secara sembarangan. Maka dari itu, deteksi dan diagnosis sejak dini sangat diperlukan dengan dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan. 

Pengobatan kusta hendaknya dilakukan hingga tuntas sampi sembuh total agar tidak menimbulkan kerusakan organ. Para penyandang kusta membutuhkan support dari berbagai pihak, khususnya keluarga untuk menuntaskan pengobatannya. 

Upaya Pemberantasan Kusta Masih Terhambat oleh Stigma

Saat ini, upaya pemberantasan kusta di Indonesia masih terhambat oleh kurangnya informasi dan sosialisasi. Seperti yang kita tahu, instansi kesehatan atau pemerintah jarang mengadakan penyuluhan yang fokus membahas kusta. Akibatnya tidak banyak masyarakat yang mengerti apa dan bagaimana kusta sebenarnya. Ditambah lagi kurangnya kesadaran atau kepedulian masyarakat untuk menggali informasi yang benar secara mandiri. Proses mencerdaskan masyarakat tentang kusta pun menjadi semakin sulit. 

Selain itu, upaya pemberantasan kusta juga masih terhambat oleh stigma masyarakat terhadap penyandang kusta. Al Qadri menceritakan bahwa sampai sekarang stigma kuno tentang kusta masih ada. Bahkan menurutnya masalah utama penanganan kusta saat ini adalah stigma. 

Kusta adalah penyakit yang bisa disembuhkan secara total dengan pengobatan yang tepat dan konsisten. Orang tidak perlu takut lagi akan mengalami kebutaan atau tangan dan kaki buntung karena kusta. Tidak seperti dulu, kecacatan fisik karena kusta saat ini bisa dicegah. 

Sayangnya, stigma dan pemahaman masyarakat yang keliru membuat para penyandang kusta tidak mau berobat. Banyak dari mereka yang malu atau enggan mengakui  dan menerima bahwa dirinya mengalami kusta. Mereka takut dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. 

Hal ini tentu berpengaruh pada upaya pemberantasan kusta. Karena tidak mau berobat, kondisi kusta lama-lama memburuk serta menular, dimulai dari orang-orang terdekat seperti anggota keluarga. Padahal saat ini pemerintah telah menyediakan akses pengobatan yang lebih baik untuk penyandang kusta. Perawatan dan obat gratis bisa diperoleh dari seluruh puskesmas di Indonesia. 

Adanya stigma dan diskriminasi membuat para penyandang kusta enggan bersosialisasi dengan orang lain. Akibatnya mereka tidak mendapatkan informasi yang benar dan lengkap tentang penyakit yang tengah diderita. Pengobatan dan penanganan pun menjadi terlambat dan berakhir pada disabilitas organ. 

Sejalan dengan pemaparan Al Qadri, menurut dr. Astri Ferdiana stigma kusta adalah masalah kompleks. Menghapus stigma ini membutuhkan upaya yang komprehensif dan konsisten. Masyarakat harus memahami bahwa OYPMK hakikatnya memiliki hak-hak dasar yang sama dengan orang lain pada umumnya. Seperti hak untuk hidup, hak kesehatan, hak pendidikan, hak hukum hingga berpolitik. 

"Para penyandang kusta mempunyai hak-hak yang sama dengan orang lain pada umumnya sebagai sesama manusia." (dr. Astri Ferdiana, Technical Advisor NLR Indonesia) 

Stigma masyarakat sangat berpengaruh pada kondisi mental para penyandang kusta. OYPMK kebanyakan menjadi tidak percaya diri dan tidak memiliki keberanian untuk memperjuangkan hak-haknya di tengah stigma dan diskriminasi masyarakat. Hanya orang-orang tertentu, seperti Al Qadri, yang berani bersuara lantang untuk memberikan informasi yang benar serta membela hak-hak penyandang kusta. 

Inilah yang kemudian menjadi salah satu fokus dari NLR Indonesia. Demi menghapus kusta serta memperjuangkan hak-hak penyandang kusta, NRL Indonesia giat mengadakan sosialisasi, kampanye, talkshow dan akses informasi terkait kusta melalui media massa. NLR Indonesia mengajak seluruh lapisan masyarakat, mulai dari tenaga kesehatan, umum, pemerintah, swasta, akademisi hingga universitas, untuk bersama-sama memutus stigma dan penularan kusta. 

Kerjasama antar seluruh pihak sangat dibutuhkan demi mewujudkan Indonesia yang zero leprosy, zero disability dan zero eksklusi, tanpa stigma dan diskriminasi. Menuju 2030 harapannya Indonesia dapat mencapai target nol penularan kusta dalam beberapa tahun yang akan datang. 

Momentum Hari Kusta Sedunia ini hendaknya menjadi titik tolak untuk lebih peduli pada penyandang kusta. Sudah terlalu lama Indonesia berjibaku melawan kusta. Sudah terlalu lama para penyandang kusta terdiskriminasi oleh stigma. Sekarang saatnya bangkit dan maju bersama-sama mewujudkan Indonesia bebas kusta dan stigma. 

Alfia D. Masyitoh
Sometimes you may find me as Marcellina Kim. Lifestyle blogger, content writer and clodi enthusiast who loves EXO Baekhyun and SF9 Rowoon. Part of EXO-L and Fantasy.

Related Posts

20 comments

  1. Memang menyedihkan sih. Padahal kalau segera ditangani, kusta itu bisa sembuh loh. Gegara stigma, akhirnya penderita kusta ga berani speak up dan akhirnya penyakitnya malah jadi tambah parah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya betul. Dan kayaknya sosialisasi tentang kusta ini masih minim, artinya belum mencapai seluruh lapisan masyarakat. Jadi makin susah meluruskan pemahaman masyarakat yang keliru.

      Delete
  2. Stigma untuk penyandang kusta ini memang besar banget ya mbak, sampai segitunya menghalangi mereka untuk bisa berkehidupan dengan normal layaknya orang biasa. Padahal kalau nggak ada stigma macam itu, kemungkinan untuk sembuh bisa lebih besar. Ini udah akses informasinya dulu masih sedikit, stigmasisasinya juga kuat banget. Alhamdulillah sekarang media untuk berbagi infonya jadi lebih luas, semua orang bisa lebih teredukasi tentang kusta. Aku yang tadinya nggak tau pun jadi tau:')

    Terima kasih informasinya ya, mbak. Salam kenal😊.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, betul banget kak. Ironis memang, banyak yang belum ngerti tentang kusta ini. Padahal kasus kusta masih banyak. Di daerahku juga ada kampung khusus penyandang kusta. Kebanyakan memang terdiskriminasi karena stigma, padahal kalo sudah diobati walaupun belum tuntas, mereka sudah tidak menular lagi.

      Delete
  3. Jadi inget pas waktu awal-awal corona. Ada tetangga positif sampai anak-anak gak dibolehin lewat depan rumahnya.
    Jika ada yang terkena kusta, perlu diedukasi atau treatment seperti penanganan corona atau gimana kak?

    Semoga selalu dalam keadaan sehat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tidak perlu seekstrim itu kak. Kusta ini jauuuu lebih TIDAK MENULAR DARIPADA COVID. Penularan terjadi hanya jika terjadi kontak intensif dalam waktu yang lama secara terus menerus dengan penderita kusta yang belum diobati.

      Kalo sudah diobati, walaupun pengobatannya belum tuntas, sudah tidak menular lagi. Kalo cuma kontak singkat, juga tidak semudah itu menularnya.

      Makanya kusta ini adalah penyakit menular yang paling tidak menular. Karena ya memang tidak segampang itu penyakitnya pindah ke orang lain.

      Delete
    2. Oiya treatmenta harus dengan dokter/tenaga medis ahli. Nanti dikasih obat khusus kusta. Yang tahu dosis dan jangka waktunya berapa lama minum obat, ya tenaga medis, dengan menganalisis kondisi pasien.

      Obatnya GRATIS di PUSKESMAS se-Indonesia.

      Delete
  4. perlu edukasi ya kak biar semakin banyak yang tahu kalo kusta ini gak semudah itu menularnya. kalo di kampung saya ada 7 sampai 10 anak yang berkebutuhan khusus, tapi namanya dikampung terlihat nggak terurus. pengen banget bisa adaian kelas pemberantasan buta aksara dan angka seperti yang diikuti kak al qadri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, mulia sekali kak niatnya.. Semoga bisa terlaksana ya, semangat!!

      Btw, itu anak-anak yang berkebutuhan khusus disebabkan karena kusta atau ada kondisi lain kak? Di mana kalo boleh tahu?

      Delete
  5. Memang edukasi tentang kusta semacam ini perlu digencarkan lagi, terlebih ada yang mau menyampaikan secara face to face, karena nggak semua mayakarat menjangkau teknologi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget kak. Edukasi dan sosialisasi tentang kusta ini memang belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Makanya stigmanya nggak selesai-selesai dari dulu.. Semoga suatu saat ada program yang bisa tepat sasaran dan menjangkau semua lapisan masyarakat.

      Delete
  6. Kusta ternyata penyakit yang mematikan ya baru tau aku soalnya kirain hanya penyakit biasa aja kaya lainnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emm, sebetulnya nggak semematikan itu mas dar. Kalau dideteksi sejak awal, langsung diobati, sampai tuntas, disabilitas atau kecacatan organ tubuhnya bisa dicegah kok. Kalau sudah sembuh dari kusta, ya sudah sembuh, nggak ada yang sakit-sakit lagi. Begitu...

      Jadi sebetulnya udah nggak seserem dulu. Dulu orang kusta mau berobat malu, takut dikucilkan orang lain karena stigma. Kalo sekarang, lebih cepat diobati, lebih besar peluang sembuh total, nggak sampai cacat fisik. Begitu kira-kira...

      Delete
  7. Artikelnya menarik & bagus..
    Emang sih jenis2 penyakit menular itu justru lebih menyakitkan secara stigma sosialnya dibandingkan secara fisik..

    Smoga penyakit Kusta bisa segera ditemukan obat & metode pemulihannya, dan bisa segera menolong para penderita penyakit kusta

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, seperti pas awal-awal Covid dulu juga gitu kan. Ingat kasus 1 dan 2 yang jadi korban stigma, spekulasi orang jadi macam-macam tentang kerjaannya lah, pergaulannya dll.

      Nah kusta ini stigma nya lebih parah dari itu. Makanya banyak penyandang kusta yg gak mau berobat karena takut stigma dan diskriminasi itu.

      Delete
  8. Emang gak pernah bosen kalo baca artikel dari Mba Alfia. Btw, saya jadi dapet ilmu baru perihal penyakit kusta itu. Makasih Kak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih apresiasinya mas. Semoga bermanfaat dan bisa meningkatkan pemahaman tentang kusta ya...

      Delete
  9. artikelnya keren kak! oh ya, di Indonesia sendiri ternyata masih banyak yang belum aware soal penyakit kusta ini. edukasi masyarakat secara masif perlu banget dilakuin, agar lebih banyak yang peduli :")

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kasus kusta masih banyak di Indonesia. Sama kayak di negara-negara berkembang lainnya. Makanya gak maju-maju nih Indonesia. Sosialisasinya memang belum menyentuh semua lapisan masyarakat, jadi memang kudu aktif cari informasi sendiri :"

      Delete
  10. Dulu pernah lihat film tentang kusta, di mana banyak organ tubuhnya. Mereka diisolir dari kehidupan luar. Ngeri lihatnya.
    Padahal kusta bisa disembuhkan, meskipun itu penyakit menular.

    ReplyDelete

Post a Comment