admasyitoh.com

Pengalaman Toilet Training pada Anak: Time to Say Goodbye to Clodi!

8 comments

pengalaman toilet training

Yeorobun, pengalaman toilet training pada anak bisa jadi adalah momen yang paling menguji kesabaran bagi orang tua. Bagiku, tahap ini adalah satu bentuk susahnya jadi orang tua yang gampang lelah dan sambat ini. 

Proses yang terjadi untuk setiap anak selama masa TT—toilet training atau disebut juga potty training—sangat mungkin berbeda. Pengalaman yang aku tulis di sini mungkin tidak dialami orang tua lainnya. Dan itu wajar ya, lumrah sekali.

So, tidak perlu insecure atau gelisah kalau anak-anak kita belum lulus TT sedangkan anak-anak lainnya sudah. Kita tidak perlu membandingkan anak kita dengan anak orang. Mari kita percaya pada diri masing-masing dan yakin pada kemampuan anak-anak tercinta!

Cara melatih toilet training pada anak usia 2-4 tahun pun belum tentu sama. Setiap orang tua mungkin punya caranya masing-masing. Meski tidak bisa disamakan, aku berharap pengalamanku ini bisa menjadi referensi atau pelajaran bagi orang tua lainnya yang saat ini sedang berjuang bersama sang buah hati untuk lulus tahap yang sangat menguji kesabaran ini.

LONG STORY ALERT! Jujurly, bagiku tahap ini adalah tahap yang paling berat selama aku menjadi orang tua dalam 3 tahun ini. Yuk, kita belajar bareng-bareng! Tulisan ini agak panjang ya, tapi semoga ada manfaat dan hikmah yang bisa diambil di dalamnya. Semoga bisa menambah khazanah ilmu parenting para pembaca.

Pengalaman Toilet Training pada Anak

Aku dulu termasuk emak-emak yang rajin ikut webinar, seperti zoom tentang pengalaman berclodi, sustainable fashion, termasuk forum-forum yang membahas toilet training. Demi apa? Demi mengisi waktu luang, sekalian persiapan toilet training buat anak sendiri.

Dalam rangka menciptakan suasana proses TT yang menyenangkan, cepat, lancar dan bebas hambatan seperti jalan tol, aku banyak membaca artikel tentang TT dan ikut seminar tentang topik terkait. Yah, bisa dibilang kalau soal teori toilet training aku sudah cukup banyak bekal lah…

Gimana praktiknya? Nah, ini yang luar biasa challenging.

Praktik toilet training ternyata tidak seindah teori, yeorobun. Realitanya tak seindah ekspektasiku. Rasanya banyak sekali drama dan sangat lama, seperti never ending story yang aku entah kapan akhirnya. Capek. 

Semua lelah, jerih payah dan air mata (halah) terbayar tuntas ketika akhirnya anak bisa ngomong, “Bunda, ayo pipis…” MasyaAllah rasanya seneng banget!! Sumpah aku terharu…

Part 1. Toilet Training Umur 18 Bulan

Metode:

  • Stop clodi, menyingkirkan semua clodi di lemari
  • Langsung pakai celana dalam
  • Tatur setiap 10-15 menit sekali

Proses:

Salah satu motivasi terbesarku memulai TT saat anak umur 18 bulan adalah cerita Bunda Rona, owner Klodiz-Minikinizz, yang anaknya berhasil lulus TT hanya dalam waktu dua minggu. Iya, dua minggu. Hebat kan?

Selama ini aku mengira anakku termasuk tipe yang cepat belajar, cepat menerima sesuatu yang baru, bahkan hampir tidak pernah ada drama yang sampai bikin pusing tujuh keliling. Jadi, dengan modal bismillah dan PD, aku mulai TT dan yakin anakku pasti bisa lulus TT dengan cepat.

Sebetulnya targetku tidak muluk-muluk. Hanya ingin anakku paham kalau pipis atau pup tempatnya di toilet dan dia bisa mengerti atau merasakan hasrat ingin pipis. Entah dia kebelet atau tidak, setiap 10-15 menit sekali aku selalu membawanya ke toilet.

Sehari-dua hari, masih semangat. Memasuki hari ketiga, aku mulai lelah, yeorobun. Ternyata menggendong anak ke kamar mandi tiap beberapa menit sekali itu sangat menguras tenaga. Belum lagi kalau ternyata pas ditatur ternyata nggak pipis, pas sudah keluar toilet malah pipis. Jadi makin banyak kerjaannya. Ya natur anak, ya ngepel rumah.

Oke, capek ternyata. Seminggu berjalan badanku meriang. Kelelahan. Kami pun berhenti di tengah jalan. Break! 

Hasil: Nihil.

Evaluasi:

  • Sepertinya anakku masih belum siap, aku yang terlalu berekspektasi tinggi bahwa anakku bisa cepat lulus tanpa drama
  • Aku pun belum siap capek, TT ternyata memang membutuhkan alokasi waktu, tenaga, perhatian dan kesabaran khusus
  • Lebih sering sounding kepada si kecil, kalau pipis dan pup tempatnya di toilet dan bukan di celana
  • Pelajari tanda-tanda kesiapan TT pada anak
  • Mencatat jadwal biologis anak, seperti kapan dia biasanya pipis, kapan pup, berapa kali sehari dan lain-lainnya

Part 2. Toilet Training Umur 22 Bulan

Metode:

  • Pakai clodi (lagi) atau celana dalam yang dilapisi pampers
  • Tatur setiap 15-30 menit sekali
  • Lepas clodi ketika tidur malam hari

Proses:

Dari trial TT sebelumnya, masih banyak sekali drama dan evaluasi. Di trial kedua ini aku berusaha menguatkan lagi niat dan tekad. Karena aku menyadari kalau inti dari proses yang melelahkan ini adalah semangat dan niat. 

Oiya, satu lagi, keikhlasan. Percayalah, ikhlas menjalani proses ini-itu dengan segala kerempongannya, bisa meringankan beban batin yang kita rasakan buibu…

Awalnya kepikiran coba pakai training pants, celana dalam yang khusus untuk TT. Konsepnya mirip clodi, cuma kapasitasnya lebih kecil karena didesain hanya untuk menampung sekali pipis. 

Ternyata harganya lumayan pricey, yeorobun. Jadi rasanya kayak tanggung kalau mau beli training pants ini, padahal dipakainya cuma sebentar (yah, paling beberapa bulan lah, nggak sampai tahunan). Sedangkan stoknya butuh banyak, nggak cukup cuma 1 lusin doang.

Jadi, kami memutuskan untuk membongkar kembali stok clodi yang sebelumnya sudah sempat disimpan di lemari penyimpanan. Kenapa akhirnya pakai clodi lagi? Jawabnya simpel. Biar emak nggak capek ngepel rumah, haha.

Meski pakai clodi, tetap setiap 15-30 menit sekali aku bawa anak ke kamar kecil untuk ditatur. Anak sempat beberapa kali berontak. Wajar, karena lagi asik-asiknya main justru aku mengganggu dengan mengajaknya ke toilet untuk tatur, padahal dia belum tentu kebelet pipis.

Inilah kesalahanku. Karena dia berontak, artinya ada unsur keterpaksaan pada dirinya. Even tho, aku tahu seharusnya proses toilet training ini tidak boleh dibumbui unsur keterpaksaan (baik ibu dan anak), apalagi sampai timbul trauma. Alhasil, belum berhasil juga. Anak belum memahami konsep ingin pipis atau pup.

Nah, di trial kedua ini aku juga mencoba metode baru yang aku harapkan bisa menjadi terobosan sukses untuk lulus TT. Suatu ketika ada konten yang lewat di sosmed tentang cerita pengalaman TT seseorang. Metode yang dipakai adalah pakai pampers yang dilapisi celana dalam kain.

Iya, jadi si anak pake celana dalam dulu. Terus luarnya baru dipakein pampers.

Kenapa sih pakai pampers segala? Kenapa nggak salah satu aja pakainya? Yah, si ibu yang bikin konten bilang biar nggak repot harus ngepel ketika anak kelepasan pipis di celana.

Tapi pakai celana dalam dulu supaya anak juga merasakan ketidaknyamanan ketika celananya basah. Intinya, anak tetap bisa bisa merasakan tidak nyaman karena celananya basah, tapi tidak perlu sampai banjir di lantai. Seperti itulah kira-kira. Ada bayangan? Atau ada yang pernah coba metode ini?

Dan, metode ini berhasil untuk si anak dan ibu pembuat konten. Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa hari si anak sudah bisa dikatakan lulus TT dan lepas pampers.

Oh, wow! Terlihat simpel, nyaman, mudah dan indah sekali bukan?

Metode inilah yang kemudian aku coba terapkan pada anakku. Even tho, basically tujuannya sama dengan caraku yang pakai clodi (termasuk juga kalau pakai training pants). Yaitu melatih anak merasakan sensasi tidak nyaman ketika celananya basah.

Sekali-dua kali aku merasa metode ini baik-baik saja, walaupun sebetulnya tidak efektif juga, karena sampai seminggu penggunaan pampers+celana dalam anakku masih belum menunjukkan peningkatan. 

Masalah muncul setelah seminggu. Ternyata metode yang terlihat membahagiakan ini lumayan berat di ongkos juga ya.

Selama pemakaian clodi aku memang jarang sekali beli pampers alias popok sekali pakai, yeorobun. Ini salah satu kelebihan clodi dibanding pampers, bisa menekan anggaran belanja kebutuhan esensial anak. That's why ketika aku harus lebih sering mengeluarkan uang untuk beli pampers demi dipakai untuk TT, sorry to say, aku merasa eman-eman. Pelit ya? Gapapa deh dibilang pelit, tapi semua ini ada alasannya kok.

Iya, kalau seminggu-dua minggu si anak bisa lulus TT. Lah sudah seminggu lebih anak belum juga bilang, “Bunda, mau pipis”... Kalau metode ini diteruskan, wah bisa dipastikan anggaran beli popok bisa membengkak. Akhirnya, aku memutuskan untuk menghentikan metode ini.

Bagaimana tanggapan suami? Nah, ini yang luput aku ceritakan sejak awal. Yeorobun, melibatkan pasangan dan anggota keluarga lain juga penting dalam tahap TT ini. Ajak si ayah, kakek, nenek, paman, pakde, bude, atau siapapun yang ada di rumah untuk bekerja sama dan beri mereka pemahaman bahwa anak sedang belajar TT. Ini sangat membantu, yeorobun.

Beruntung aku termasuk punya suami yang pro aktif dan sangat kooperatif. Karena kami hanya tinggal bertiga di rumah (aku, suami dan anak) jadi tidak ada anggota keluarga lain yang kami libatkan secara langsung.

Beruntungnya lagi, apapun keputusanku dalam metode TT ini suamiku pasrah dan mendukung. Jadi cara apapun yang aku terapkan, dia tidak membantah, malah membantu. Ketika aku bilang mau pakai metode pampers+celana dalam pun dia tidak membantah. 

“Kalau menurut bunda itu terbaik, ya gapapa. Ayah ngikut aja.” Artinya, suami pun juga tidak mempermasalahkan secara finansial, kalau terpaksa memang harus menggelontorkan anggaran khusus demi kesuksesan TT anak. 

Aku yang justru keberatan. Jadi, yah yasudahlah. Kami break lagi, setelah dua mingguan berproses tanpa hasil yang signifikan.

Hasil: Nihil. Tidak ada perubahan yang berarti atau signifikan kalau dibandingkan dengan trial sebelumnya.

Evaluasi:

  • Gonta-ganti metode sepertinya justru malah semakin tidak efektif, lebih baik pilih satu metode yang diyakini paling efektif lalu konsisten
  • Never stop sounding, percayalah pada kekuatan sounding!

Part 3. Toilet Training Umur 26 Bulan

Metode:

  • Kembali ke metode stop semua clodi dan pakai celana dalam kain saja
  • Tetap pakai metode tatur tiap beberapa menit, tapi intensitasnya dikurangi

Proses:

Belajar dari trial sebelumnya, aku meyakini kalau sebetulnya terlalu sering gonta-ganti metode justru mengurangi efektivitas metode itu sendiri karena artinya sama saja dengan tidak konsisten

Di trial kali ini aku memilih satu metode yang aku yakini, lalu konsisten dengan metode itu: pakai celana dalam. Karena aku pikir, toh nanti pada akhirnya anak akan pakai celana dalam. Jadi anggaplah proses TT ini sebagai tahapan memakai celana dalam lebih awal. Dan, memang itulah tujuan utama TT ini, membuat anak lepas dari popok.

Jatuh-bangun pada proses-proses trial sebelumnya membuatku lebih tahan banting, yeorobun. Kami jadi tidak gampang menyerah. Bisa dibilang aku lebih pasrah, ikhlas dan sabar.

Meski tetap harus sering ajak anak ke toilet, lama-lama aku menyadari kalau semakin lama intensitasnya semakin berkurang. Dari yang semula harus 10 menit sekali, lalu 20 menit, 30 menit, satu jam, akhirnya sampai dua jam, bahkan tiga jam. Hingga akhirnya aku tidak perlu mengajak anak ke toilet lagi. Anakku akhirnya—bisa dikatakan—berhasil lulus TT. MasyaAllah luar biasa bahagianya!

Entah berapa lama persisnya proses ini. Kalau aku ingat-ingat, mulai akhir Agustus 2022 sampai sekitar Februari 2023. Sekitar enam bulan, akhirnya anakku bisa bilang sendiri kalau mau pipis. Bisa melepas celana sendiri dan langsung ke toilet. Benar-benar stop clodi dan popok. Alhamdulillah, masyaAllah…

Kalau dulu harus aku yang ajak ke toilet, sekarang anak lah yang ajak ke toilet, “Bunda, mau pipis.” Ada perasaan senang yang luar biasa, terharu, lega sekaligus bangga! Ya Allah, rasanya nggak sia-sia proses dan drama-drama selama ini.

Hasil: Lulus. Alhamdulillah masyaAllah barakallah…

Evaluasi:

  • Tidak ada evaluasi, hanya sedikit perlu digaris bawahi bahwa marah-marah dan ngomel ke anak ketika kejadian anak pipis atau pup di celana justru cuma bikin capek
  • Tidak perlu memaksa anak ke toilet, cukup diajak dengan halus, memaksa hanya akan membuat anak trauma, percaya saja pada anak bahwa ia bisa mengontrol dirinya sendiri kapan ia ingin pipis dan lain sebagainya
  • Biarkan anak membawa mainan ke toilet, karena mainan bisa jadi membantu anak menciptakan suasana yang nyaman di toilet dalam proses pembiasaan ke toilet, sebab ada beberapa anak yang ‘takut’ dengan suasana di kamar mandi

Summary

Toilet training adalah salah satu tahap milestone anak yang penting sekali dalam proses tumbuh kembang anak. Proses yang dijalani setiap anak bisa jadi sangat berbeda dan tidak bisa dibandingkan dengan anak-anak lainnya.

Ada banyak metode yang bisa diterapkan untuk melatih anak. Silakan pelajari dan pilih metode yang diyakini paling efektif, lalu konsisten lah. Apapun metodenya, bagaimanapun prosesnya, yang perlu kita ingat adalah tujuan utama tahap toilet training ini adalah untuk membuat anak lepas dari popok—baik clodi, popok kain maupun popok sekali pakai (pampers).

Kunci utama untuk lulus tahap TT ini adalah niat, tekad dan semangat, konsistensi serta kesiapan orang tua dan anak. Kerjasama yang baik antara anak, ibu, ayah dan anggota keluarga lain yang terlibat interaksi langsung dengan anak juga dibutuhkan untuk kelancaran proses training ini.

Meski melelahkan dan menguras emosi, yakinlah pada kemampuan anak dan diri sendiri bahwa anak pasti bisa lulus TT dengan baik pada akhirnya. Proses ini mungkin tidak lepas dari drama, bisa juga berjalan lancar tanpa hambatan, tetapi dukungan orang tua sangat dibutuhkan oleh anak. So, tetap semangat ya!

****

Note: Aku menulis cerita ini ketika anakku sudah—bisa dikatakan—lulus toilet training. Padahal draft tulisan ini sudah mengendap berbulan-bulan di ‘bank ide’ tapi eksekusinya yang terus tertunda karena satu dan lain hal, termasuk faktor kemalasan. 

Setelah semua proses dan drama ini-itu, aku mengumpulkan niatku untuk menulis pengalaman ini, dengan harapan bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja yang membutuhkan. Termasuk, catatan pribadi yang masuk dalam jurnal tumbuh kembang anakku.

Untuk apa saja yang perlu dilakukan dalam persiapan toilet training, tips-tips toilet training, dan toilet training di malam hari atau ketika dalam perjalanan, insyaAllah aku bagikan di tulisan yang lain, ya! Stay tuned…

Alfia D. Masyitoh
Lifestyle blogger, content writer and full time mother who loves EXO Baekhyun and SF9 Rowoon. Part of EXO-L and Fantasy.

Related Posts

8 comments

  1. Alhamdulillah sudah lulus TT.. Another drama in life is TT, aku masih mengumpulkan stock sabar untuk anak ke 3 nih, usianya 28 bulan.. Bertahap deh, tunggu emaknya siap haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul mbak, emaknya kudu siap.. kalo nggak siap malah sakit semua badan wkwk... tapi kalo anak ketiga berarti udah profesional lah emaknya, kan udah punya banyak bekal praktik ya...

      semangat mbak.. aku padamu :*

      Delete
  2. Alhamdulillah sudah luluss TT. Adek aufar kalo main kesini udh ga pake pampers lagi yaaaa.. 😄 anakkku blm nyobaa. Masih blm siapp ngepel dan lainnya hikss..

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah ya boend, hehe... gapapa mbak, jangan dipaksa kalo emang belum siap... dan bisa jadi ntar proses berjalannya nggak seburuk itu juga lo, karena kita nggak tau nih kemampuan anak, jadi percaya aja sama anak ya..

      samean bilang belum siap ngepel dan rempong bla bla bla, tapi bisa jadi ntar pas dia TT malah lancar ga perlu bolak balik ngepel dan rempong.. who know kan?

      Delete
  3. Selamat sudah lolos toilet trainingnya
    Mau aku save ah buat nanti toilet training anakku

    ReplyDelete
  4. Anakku pernah pake clodi ramai lingkungan bisa di cuci trus pake lagi dan lebih hemat. Dan clodi ngebuat anakku nggak lama" pake pampers.

    ReplyDelete
  5. Salah satu tantangan terbesar orang tua ya dan perlu kerja sama semua orang yang ada di rumah supaya toilet training ini berhasil dengan sukses

    ReplyDelete
  6. Aaaahhh mbak Al terima kasih sudah membagikan pengalamannya yang aku tunggu-tunggu, hihi.

    Lumayan lama juga ya prosesnya ya mbak. Alhamdulillah selamat Aufa sekarang sudah lulus TT 🤗

    Wah makasih ya mbak sudah diingatkan pada bagian evaluasi, kalau anak berontak diajak ke kamar mandi jangan dipaksa nanti trauma. Lagi asik2 main diajak ke kamar mandi, ya pasti males bgt ya ganggu aja 😆 aku juga hampir emosi pas bagian itu. Apalagi diajak ke kamar mandi menolak, ehh malah pipis deh disitu kan gemes🤪

    Mbak Al keren udah mencobanya di usia 18 bulan. Aku di usia segitu belum kepikiran. Aku belum siap cape ngepel dan beberes seperti yg mbak Al ceritakan. Jadinya aku memulainya udah diusia 2 tahun lebih. Belum terlambat kan ya? 🥺

    ReplyDelete

Post a Comment