admasyitoh.com

Checklist Persiapan Toilet Training pada Anak agar Minim Trauma dan Drama

30 comments

tips toilet training

Siapa sih yang nggak mau anaknya cepat lepas popok dan lulus toilet training? Kayaknya semua ibu pasti punya impian ini, ya…

Dulu kalau dengar cerita orang-orang tentang pengalaman TT anak-anak mereka, aku sering penasaran, kok anak-anak itu bisa cepet-cepet ya TT-nya? Rahasianya apa? Kenapa anakku nggak lulus-lulus TT-nya kayak anaknya si itu? Pengalaman toilet training pada anak yang aku alami memang banyak sekali dramanya, seperti never ending story yang entah kapan akhirnya. Aku ceritakan pengalaman ini di tulisanku sebelumnya.

Dan, belajar dari pengalaman itu—serta sedikit ilmu dari sana-sini—aku memberanikan diri menulis tentang persiapan toilet training ini. Dengan harapan, pembaca bisa mengambil hikmah dan pelajaran di dalamnya. Supaya tidak mengulangi kesalahan yang aku perbuat selama proses TT bersama anak.

Sebagai orang tua, yang perlu kita yakini lalu tanamkan dalam hati adalah:

  • Proses TT yang dialami setiap anak sangat mungkin berbeda dengan anak lainnya
  • Anak-anak adalah makhluk ajaib yang penuh kejutan, kadang tidak bisa diprediksi, jadi kita wajib percaya pada kemampuan mereka

Trauma pada Toilet Training

Ada sebuah cerita, seorang wanita dewasa yang masih mengompol saat tidur malam. Wanita tersebut belum bisa buang air kecil di toilet. Padahal secara fisik dan mental ia sehat seperti orang lain seusianya. Tidak ada riwayat penyakit atau kelainan. Apa masalahnya?

Setelah dipelajari, ternyata wanita tersebut punya riwayat trauma yang mendalam ketika masih kecil, tepatnya ketika masa toilet training. Ada kejadian tidak menyenangkan yang ia alami selama belajar TT ini.

Kejadian ini nyata ya, yeorobun. Bukan mengada-ada. Aku dengar cerita ini ketika mengikuti webinar dari Komunitas Toilet Training. Saat itu, dr. Galuh W. Utami, narasumber sekaligus co-founder Komunitas Toilet Training, menceritakan kejadian ini sebagai insight bagi para ibu (dan ayah) tentang proses TT minim trauma. Meski beliau tidak menceritakan detail kenangan buruk apa yang dialami si wanita dalam kejadian tadi.

Nah, secara kebetulan ada seseorang yang aku kenal yang mengalami hal serupa. Sama-sama perempuan juga. Sampai usia menginjak remaja, sekitar SMA, kenalanku ini masih sering ngompol di tempat tidur ketika malam hari. Sayangnya aku tidak berani tanya lebih lanjut. Nggak enak, khawatir bisa menyinggung perasaan beliau.

Entah apa yang dialami beliau ketika masih kanak-kanak, apakah punya trauma masa lalu seperti kejadian yang aku ceritakan di atas atau bagaimana. Tapi katanya si ibu kenalanku ini juga mengalami hal yang sama. Jadi seperti menurun gitu ya, dari ibu ke anak perempuan.

Dua pengalaman unik ini (mau bilang aneh kok nggak enak) mengandung pelajaran berharga bagi kita semua bahwa proses toilet training yang salah ternyata bisa memberikan trauma psikologis bagi anak, yang bahkan bisa terbawa sampai kelak ia dewasa. Sebagai modern mom yang bertanggung sudah jadi kewajiban kita untuk membersamai proses belajar anak tanpa menimbulkan trauma atau inner child menyakitkan, yeorobun.

Nah loh, jadi serem ya…

Itulah kenapa kita belajar bareng-bareng, yeorobun. Supaya anak-anak bisa lulus toilet training dengan baik, minim trauma dan bebas drama. Ada berbagai persiapan toilet training yang perlu dilakukan supaya cita-cita mulia alias impian indah ini bisa tercapai.

Cara melatih toilet training pada anak usia 2-4 tahun pun berbeda-beda, tergantung style dan ‘mazhab’ yang dianut oleh orang tuanya. Mana cara yang paling benar dan efektif? Relatif. Karena kembali lagi pada kemampuan dan respon masing-masing anak yang berbeda.

Hasil belajar dari sana-sini dan pengalaman pribadi, aku menyimpulkan kalau ternyata benar bahwa dasar memulai toilet training adalah kesiapan anak, bukan usia anak. Secara teori, anak-anak umumnya siap memulai proses ini pada usia 18-24 bulan. Tapi tidak menutup kemungkinan anak baru siap ketika usia 3 tahun.

Bahkan, dari yang pernah aku baca, hasil survei menunjukkan bahwa anak perempuan biasanya lebih cepat tertarik belajar TT daripada anak laki-laki, yaitu pada usia 26 bulan. Sedangkan anak laki-laki baru tertarik ketika usia 29 bulan.

Ingat! Toilet training itu dasarnya kesiapan anak, bukan usia anak. Tidak perlu memaksa kalau anak belum siap, daripada timbul efek samping yang tidak diinginkan.

tanda anak siap toilet training

Lagi-lagi, karena kesiapan dan proses yang dialami setiap anak berbeda, makanya kita tidak perlu galau gundah gulana ketika anak-anak belum juga lulus TT. Kita nggak lagi balapan kok. Lamanya anak menyelesaikan proses ini belum tentu sama dengan teman-temannya. Begitu kata dr. Miza Afrizal, dokter spesialis anak di RSIA Tumbuh Kembang, Depok.

Jadi, kalau anak sudah umur 2 atau 3 tahun, teman-teman seusianya sudah mulai TT, tapi anak kita belum mulai TT karena belum siap, ya gapapa. Tidak perlu galau atau menyalahkan anak. Pun, tidak perlu dipaksakan, daripada malah timbul efek samping seperti ISK, trauma dan berujung pada masa training yang semakin lama.

Persiapan Toilet Training

Kalau anak sudah menunjukkan kesiapan untuk latihan lepas dari pampers (atau cloth diaper a.k.a clodi), saatnya emaknya yang siap-siap. Proses TT ini juga mengajarkanku untuk bekerjasama, yeorobun. Kesuksesan tahap ini juga ditentukan oleh teamwork yang baik, antara anak dan orang tuanya, serta anggota keluarga lainnya yang setiap hari berinteraksi secara langsung. Apa saja sih yang perlu disiapkan ketika mau mulai toilet training? Berikut ini uraian singkatnya…

1. Kuatkan Niat dan Tekad

Hal pertama yang perlu dilakukan ketika akan mulai TT adalah menguatkan niat dan tekad, serta mengumpulkan semangat. Konon, setiap proses TT pasti akan ada dramanya, yeorobun. Apalagi kalau prosesnya panjang dan nggak selesai-selesai kayak yang aku alami. Akan ada titik dimana rasanya ingin menyerah.

Makanya yang pertama kali perlu dilakukan adalah menguatkan niat, tekad dan semangat. Pegang teguh niat dan tujuan awal proses belajar TT ini adalah agar anak jadi mandiri. Yuk, semangat yuk!!

2. Sounding Sejak Jauh-jauh Hari

Aku pernah ‘diwejangi’ seorang teman, katanya, jangan meremehkan kekuatan sounding pada anak. Menurutku memang ada benarnya. Pengalaman menyapih anak tanpa drama membuatku sadar bahwa sounding ternyata memang se-powerful itu, yeorobun. Jadi, tidak ada salahnya mencoba cara ini ketika akan memulai toilet training. Yah, namanya juga usaha ya…

Alangkah lebih baik jika sounding ini dimulai sejak jauh-jauh hari. Misalnya ketika anak masih 2 tahun, kita kasih ultimatum nih, “Adek, nanti kalau sudah 3 tahun pipisnya di toilet ya, clodinya sudah nggak muat karena adek kan makin besar.”

3. Pelajari Jam Biologis Si Kecil

Seperti yang kita ketahui, semakin besar frekuensi anak pup semakin berkurang, tidak sesering ketika dulu masih newborn ‘kan? Biasanya anak 2 tahun sudah mulai jam biologis yang teratur, mulai terbentuk kebiasaan khusus. Sudah saatnya kita mengamati—dan mencatat bila perlu—waktu atau jam-jam kapan si kecil pup. Kurang kerjaan ya? Mungkin. Tapi so far ini memang cukup membantu ketika proses TT kok. Jadi kita bisa antisipasi atau ambil ‘ancang-ancang’ nih ketika anak waktunya pup.

4. Mulai Ajarkan Kebersihan Diri kepada Anak

Mumpung masih persiapan, nggak ada salahnya mulai mengajarkan kebersihan diri sendiri pada anak. Mulai dengan mengenal anggota tubuh sendiri. Ajari anak-anak kita bahwa kebersihan diri perlu dijaga agar badan kita tetap sehat, termasuk kebersihan organ intim.

Nah, di titik ini pula ajari basic sex education sesuai umurnya. Seperti organ reproduksi serta perbedaan laki-laki dan perempuan. Tidak perlu membuat istilah-istilah tertentu untuk organ intim. Jadi sebut saja kalau cowok itu punya penis, kalau cewek punya vagina. Ajari juga, dari mana keluarnya pipis atau urine, yang mana anus, dari mana keluarnya kotoran, setelah pipis atau pup organ mana yang harus dibersihkan.

Mulai tanamkan pula nilai-nilai privasi pada anak. Kalau aku, karena anakku cowok, aku selalu bilang kalau penis itu kemaluan. Yang namanya kemaluan itu artinya malu kalau dilihat orang, jadi harus ditutupi. 

Aku mengajarkan anak cowokku kalau dari pusar sampai lutut tidak boleh dilihat orang lain kecuali ayah dan bunda. 

Bagaimana kalau periksa ke dokter? Apakah boleh dilihat oleh dokter? Boleh, tapi harus ijin ayah atau bunda yaa

Bagaimana dengan anggota keluarga lain seperti paman, tante, sepupu atau saudara lainnya? Kalau aku termasuk yang lumayan strict nih. Walaupun masih saudara, sebisa mungkin privasi anakku tetap terjaga. Karena mau gimana pun, kelak ketika sudah akil baligh, tetap ada batasan mahram dengan saudara. Jadi, aku nggak suka kalau anakku kelihatan nggak pakai baju di depan tante atau sepupu-sepupunya.

Beri juga pemahaman sebaliknya. Artinya begini, “Kalau bagian kemaluan kita tidak boleh dilihat atau dipegang orang lain, berarti kita juga nggak boleh lihat atau pegang-pegang kemaluan orang lain ya, sayang! Nanti orang itu jadi malu.” Intinya seperti itu. Cara komunikasinya terserah ya, sesuaikan dengan kebiasaan dan kondisi masing-masing.

Kenapa sih ini perlu diajarkan padahal anak masih kecil? Ini kan hal yang tabu…

BIG NO!! Justru ini penting dan genting sekali, bun… yeorobun… Kalau lihat berita pelecehan seksual pada anak-anak di zaman edan seperti sekarang, rasanya tuh merinding. Serem!! Dan sudah menjadi kewajiban kita sebagai orang tua untuk melindungi anak-anak tercinta dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti itu.

5. Komunikasi & Kerjasama dengan Anggota Keluarga

Ajak anggota keluarga lain untuk kerjasama. Komunikasikan kepada mereka bahwa anak-anak mau mulai TT nih, mohon kerjasamanya, ya! Berhubung di rumah kami hanya tinggal bertiga (aku, suami dan anak), jadi aku dan suami kerjasama, gantian buat natur anak ke toilet. Karena yang berinteraksi langsung dengan anak setiap hari hanya kami. Tidak ada pengasuh atau asisten rumah tangga, pun orang tua dan mertua tidak ketemu setiap hari.

Bagaimana dengan anggota keluarga yang lain? Kerjasama seperti apa yang bisa mereka lakukan?

Dukungan alias support. Biasanya yang suka bikin berantakan program toilet training (dan metode parenting) kita sih eyangnya anak-anak, ya. Baik orang tua maupun mertua ada yang masih suka terlalu ikut campur urusan mengasuh anak. Nah, yang begini nih yang perlu komunikasi dari hati ke hati.

Wajar sekali kalau orang tua kita ingin tahu progres tumbuh-kembang cucunya, tapi usahakan dasar-dasar yang kita tanamkan ke anak tidak diintervensi oleh mereka. 

Sampaikan kepada orang tua kalau si kecil lagi belajar lepas clodi atau pampers. Supaya mereka juga bisa memberi semangat kepada si kecil, misalnya dengan memberi pujian atau malah hadiah kecil saat bertemu. Atau ikut mengingatkan seperti, “Wah, cucu eyang pinter ya! Udah bisa pipis di toilet. Sekarang nggak kebelet pup?”

6. Lengkapi Peralatan Penunjang

Poin ini krusial banget. Kalau ibaratnya toilet training adalah medan pertempuran, nah peralatan penunjang adalah alat tempurnya. Peralatan atau perlengkapan apa saja yang dimaksud? Tergantung kebutuhan. Orang tua lah yang paling tahu kebutuhan si kecil selama TT nantinya.

Ini juga tergantung dari metode yang dipakai, ya. Berhubung aku pakai metode (yang bisa dibilang) konvensional, natur anak tiap beberapa menit sekali, maka aku harus menyiapkan stok celana dalam untuk si kecil. Langsung stok sekitar 3 lusin waktu itu. Aku pikir toh nantinya anak akan pakai celana dalam, jadi aku sengaja nggak menyiapkan training pants atau closet portable. Jadi ketika anakku lulus TT pun celana dalam masih bisa dipakai, tidak perlu beli baru lagi.

Perlengkapan lain yang menurutku wajib ada adalah perlak (dan/atau) sprei waterproof. Ini digunakan terutama ketika anak tidur supaya kasur tidak jadi korban penampungan anak ngompol ya, yeorobun. Dan demi kepentingan TT ini aku sampai bela-belain perlak baru, perlak ondo, yang diklaim organik. Tujuannya bukan sekedar mencegah pipis rembes tapi juga membuat anak tidur dengan nyaman, mudah dibersihkan dan tahan lama.

Sejauh ini perlak yang aku beli tidak mengecewakan. Bahkan sejujurnya jarang sekali kena ompol karena ternyata anak ketika tidur sangat jarang ngompol, yeorobun. Intensitas pipis si kecil ketika tidur ternyata jauh lebih sedikit daripada ketika dia bangun.

Kalau sprei waterproof menurutku opsional. Bagiku perlak ondo sudah cukup, sehingga aku tidak membeli sprei khusus. Jujurly harga sprei waterproof ini memang lumayan pricey, tapi insyaAllah sebanding dengan fungsinya kok. Kalau ada rezeki lebih dan memang dirasa perlu—misal si kecil punya manuver luar biasa ketika tidur alias tingkahnya tidak karu-karuan—tidak ada salahnya pertimbangkan beli sprei waterproof.

Oiya, Minikinizz punya produk yang menarik nih. Namanya Izzypad, perlak multifungsi yang didesain khusus untuk memudahkan si kecil dalam masa toilet training agar pipis dan pupnya tidak tercecer. Kalau aku bilang produk ini unik karena perpaduan antara perlak dan clodi. Jadi, fungsinya sama seperti perlak, tapi bahannya terbuat dari material clodi—outer waterproof PUL (polyurethane laminated) dan inner suede. Bedanya cuma nggak pakai insert sebagaimana clodi yang kita kenal. Izzypad ini lebih mudah dipahami sebagai perlak fleksibel yang berbentuk celana atau rok.

Selain yang aku sebutkan, perlengkapan lain yang mungkin dibutuhkan yaitu training pants (mirip clodi tetapi kapasitasnya lebih kecil), toilet portable a.k.a potty chair, toilet seat (untuk kloset duduk), celana yang mudah dilepas, toilet training table (ada stiker dan reward) serta buku tentang toilet training.

Berdasarkan pengalaman, buku ini sangat membantu anakku dalam proses TT. Buku anak selalu punya gambar yang menarik dan full color. Bagi anakku, dia jadi lebih tertarik untuk pipis atau pup di toilet karena ingin meniru tokoh yang ada di buku yang dia baca.

Summary

Toilet training yang salah bisa menciptakan trauma bagi anak, bahkan terbawa hingga kelak ketika dewasa. Pada saat toilet training, hakikatnya bukan hanya anak yang belajar untuk pipis dan pup di toilet, orang tua juga belajar tentang kesabaran serta mendalami karakter atau kondisi anak.

Demi menciptakan fase toilet training yang aman, nyaman, damai, minim trauma dan bebas drama ada berbagai persiapan yang perlu dilakukan. Mulai dari mengecek kesiapan anak (secara fisik, perilaku dan kognitif); menguatkan niat dan tekad; sounding hingga melengkapi ‘alat tempur’ yang akan digunakan selama proses training.

Akan lebih baik kalau persiapan ini sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelum anak memulai belajar TT. Nah, bagaimana persiapan toilet training pada anak versimu? Yuk, share di kolom komentar ya!

Referensi

  1. Signs Your Toddler is Ready to Potty Train - https://www.babycenter.com/toddler/potty-training/potty-training-readiness-checklist_4384
  2. Cara Memberikan Pendidikan Seksual pada Anak Sesuai Usianya - https://www.orami.co.id/magazine/pendidikan-seksual

Alfia D. Masyitoh
Lifestyle blogger, content writer and full time mother who loves EXO Baekhyun and SF9 Rowoon. Part of EXO-L and Fantasy.

Related Posts

30 comments

  1. Yeeayyy akhirnya ada kelanjutannya lagi🤗
    Alhamdulillah mbak aku juga ancang² kapan anakku pup. Kalau dia pup nya setiap pagi. Kalau pagi gak pup, biasanya sore. Jadi udah tau nih jam nya.

    Nah aku belum prepare yg seprei waterproof itu mbak. Soalnya malemnya belum lepas pempers 🙈
    Aku juga udah kepikiran itu sih, tapi aku masih belum merasa perlu karena belum lepas pempers sepenuhnya. Apa harus prepare dari skrng aja ya mbak?

    Malah aku kepikiran pengen yg karpet kaya di rumah sakit itu loh mbak wkwk, tapi panas gak ya 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo aku nggak pake seprei waterproof, karena nggak bisa dibawa kemana-mana kan. Jadi pas nginep di rumah neneknya repot. Jadi aku pake perlak ondo aja, yang bisa dibawa kemana-mana, tapi size nya tetep cukup buat meng-cover si anak..

      Kalo yang perlak rumah sakit itu bisa sih, harganya lebih murah juga. Tapi menurutku atasnya perlu dikasih kain gitu mbak, misal kain bedong, atau sarung/selimut yang ga kepake. Biar nggak panas di kulit...

      Delete
  2. Setuju banget Ma Al, setiap anak adalah privadi yg unik, sudah pasti juga punya kemampuan dan kesiapan yang berbeda2. Bisa dijadikan referensi, nih, buat para ibu yg ingin menerapkan TT pada anak2nya. Lengkap. BTW tertarik buat beli perlak organik buat kasih hadiah ke ponakan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yuk mbak, sekarang perlak ondo organik mereknya banyak dan motifnya lucu2. Aku suka perlak ini karena dipakai tetep nyaman, nggak panas kayak perlak2 yang biasanya. Harganya memang sedikit lebih mahal dari perlak biasa. Tapi sebanding sama kualitasnya. Nggak gampang rusak. Terus motifnya juga lucu2, hehehe...

      Delete
  3. Peran ibu sangat penting ya, mengajarkan toilet training pada anak. Seingatku waktu anak pertama dulu, anakku langsung manut aja, kuajarkan ini itu, anaku anteng aja waktu kecil soalnya.😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah pinter banget.. Dulu mulai TT pas anak umur berapa mbak? Kalo anak masih kecil, bayi, biasanya lebih nurut. Tapi selesainya yang lebih lama. Kalo anak agak gedean, biasanya mulai macem2 tuh tingkahnya, tapi lebih cepet lulusnya...

      Delete
  4. Menarik nih artikelnya, jadi bisa menjadi referensi parenting buat para ibu-ibu atau mommy muda yang baru punya anak yaahhh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga bisa bermanfaat buat siapa aja.. Makasih mbak...

      Delete
  5. Toilet training ini merupakan salah satu fase pertumbuhan anak yang paling menguras kesabaran saya. Kalau saya dulu sangat terbantu dengan perlak waterproof dan training pants.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak. Aku juga merasanya gitu, luar biasa kudu sabar emaknya emang.. Huhu. Alhamdulillah sekarang sudah berlalu ya, bisa bernafas legaaa

      Delete
  6. Umur 2 -3 tahun waktu untuk toilet training ya mba? Catatan buat aku sih kelas kalo punya harus persiapan matang hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Umumnya umur segitu. Tapi sekali lagi umur bukan patokan. Yang jadi patokan mulai TT sebenarnya adalah KESIAPAN ANAK dan ibunya. Biasanya umur 2-3 tahun anak sudah siap secara fisiologis dan mental, kemampuan motoriknya juga sudah lebih bagus kan. Makanya kisaran umur segitu lah. Tapi kalau baru siap di umur lebih dari 3 tahun pun gapapa... Yang penting nggak ada unsur paksaan yang bikin anak jadi trauma.

      Delete
  7. Mengajari anak Toilet training memang butuh kesabaran banget, seperti anak saya yang butuh waktu berbulan-bulan hingga ia akhirnya bisa mandiri ke toilet. Informasinya lengkap sekali mba, semoga memberikan wawasan bagi para ortu di luar sana :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ya robbal 'alamiin.. Makasih supportnya mbak...

      Delete
  8. Mengajari anak Toilet training memang butuh kesabaran banget, seperti anak saya yang butuh waktu berbulan-bulan hingga ia akhirnya bisa mandiri ke toilet. Informasinya lengkap sekali mba, semoga memberikan wawasan bagi para ortu di luar sana :)

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah masa itu sudah lewat dulu kedua anak saya kalau dirumah tanpa pempers dan sbg ibu saya tau gerak gerik anak kalau mau pee atau pup auto langsung angkat ke KM...lama2 mereka paham dan bisaa emang kudu fokus tp anak otu cepet beradaptasi kok (gusti yeni)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul banget. Emak bapaknya kudu peka sama tanda-tanda si anak kalo nggak mau kebobolan, hehe.. Alhamdulillah ya sudah berlalu..

      Delete
  10. Kebayang dulu ngajarin anak beraktivitas di toilet. Butuh ketelatenan banget ya. Pinginnya anak sudah mandiri untuk hal ini sebelum masuk TK.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar pak.. Kalau sudah masuk sekolah PAUD, apalagi TK, harusnya anak sudah mandiri. Minimal kalau mau pipis atau pup ngomong, nggak kebobolan di celana ya...

      Delete
  11. Toilet training itu yang harus disiapkan dulu ortunya, siap ga bangun malam untu tatur anak, mengajarkan anak ke toilet itu perjuangan lo, siap ga jika anak kelepasan pipis di celana, telaten ga ajak anak ke toilet secara teratur
    wah pokoknya banyak deh
    dannnn cerita ketiga anakku pun beda-beda saat toilet trainig, ya milestone setiap anak beda kan ya, tidak perlu dibandingkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, ini lebih banyak ilmunya nih. Aku kudu banyak belajar dari mbak Dyah deh.. Jangankan sama anak orang lain, kakak sama adiknya aja nggak bisa dibandingkan ya mbak..

      Delete
  12. Seneng banget ya bisa melihat tahapan pertumbuhan anak, termasuk salah satunya melihat anak sudah mulai latihan toilet training. Orang tua harus benar-benar sabar banget ya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah mbak sudah berlalu sekarang. Bener-bener harus punya stok sabar yang banyak orang tuanya...

      Delete
  13. Malu untuk mengakuinya, tapi saya sendiri termasuk anak yang kurang mendapatkan perhatian lebih soal toilet training.
    Ini nambah wawasan banget untuk saya jika nanti jadi ortu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, semoga kelak kalau punya anak bisa jadi yang perhatian dengan tumbuh kembang anak termasuk TT ini ya kak.. Semangat! You did well...

      Delete
  14. Toilet training ini penting banget untuk orang tua newbie ya. Jadi harus siap untuk hadapi anak agar terlatih buang hajat dengan tepat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener, kalau newbie biasanya belum punya pengalaman kan. Tapi sudah punya anak pun tetep belajar sih, karena bisa jadi TT tiap anak berbeda, nggak bisa disamakan antara anak pertama, kedua dan seterusnya...

      Delete
  15. Waah toilet training ini penting banget sih emang. Aku punya ponakan yang usianya 3 tahunan, masih belum mau untuk bab ke toilet. Kalau diajak malah nangis xixie Masih berproses :D pelajaran buat aku kedepannya kalau nanti udah punya anak. Makasih yaa mbak udah sharing

    ReplyDelete
  16. Iyes, anakku lulus toilet training usia 3 tahun. Usia 1,5 tahun mulai lepas Pampers.

    ReplyDelete
  17. Toilet training menurut saya juga merupakan bagian yang lumayan menantang di masa tumbuh kembang anak selain menyapih dari ASI. Dulu strategi saya adalah rajin-rajin menawarkan anak untuk ke toilet. Meski begitu, nyatanya pasti ada juga yang kelolosan. Untuk malam, memang sprei anti ompol akhirnya jadi andalan hingga usia TK.

    ReplyDelete

Post a Comment