Contoh dress produk sustainable fashion yang ramah lingkungan (Photo: Khaya Heritage/Instagram) |
Konon, mengikuti tren fashion sama seperti mengikuti arus Hallyu Wave: tidak akan ada habisnya. Memang, busana adalah kebutuhan mendasar manusia yang tidak bisa dihindari. Tetapi tren atau mode, tidak perlu selalu dituruti. Sebab industri fashion mempunyai sisi kelam di balik segala keglamoran dan kemewahannya. Aku pernah merangkum tentang hal ini di artikel yang lain.
Side effect dari dinamika industri fashion rupanya tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi. Celakanya, industri ini turut bertanggung jawab atas 20 persen pencemaran limbah perairan serta berkontribusi terhadap 10 persen emisi karbon setiap tahunnya. Itulah fast fashion, tren mode busana yang selama bertahun-tahun telah kita pakai, yang tanpa kita sadari telah menyumbang sedikit demi sedikit kerusakan di muka Bumi.
Petaka dalam Sejarah Industri Fashion
Kondisi setelah Rana Plaza di Bangladesh runtuh tahun 2013 (Photo: Munir Uz Zaman/AFP/Getty Image) |
Seorang perempuan muda, berusia 20an, cepat-cepat berlari keluar ruangan menuju tangga. Tiba-tiba lantai di bawah kakinya berguncang hebat. Gedung delapan lantai yang sehari-hari menjadi lahan ia mencari nafkah itu runtuh, hancur, hanya menyisakan puing-puing yang rata dengan tanah.
Pikirnya ia selamat karena masih mampu merasakan jantungnya berdegup kencang. Tapi rupanya reruntuhan dinding menimbun kedua kakinya. Ia sadar, dirinya terperangkap, tidak bisa lagi kemana-mana. Akhirnya ia hanya bisa pasrah. Seketika beribu pikiran pun datang berkelebat di kepalanya. Sampai akhirnya tim penyelamat tiba.
Perempuan itu beruntung. Ia masih diberi keajaiban untuk bertahan hidup, meski harus kehilangan kedua kakinya. Kini ia hanya mengandalkan kursi roda untuk bergerak kesana-kemari. Rekan-rekan kerjanya tidak seberuntung itu. Lebih dari 1000 buruh garmen lainnya harus kehilangan nyawa dalam bencana paling mengerikan sepanjang sejarah industri fashion itu.
Seketika mata dunia, khususnya para pelaku bisnis fashion, tertuju ke Dhakka, Bangladesh. Hingga beberapa minggu setelah kejadian, reruntuhan itu masih tetap ramai didatangi keluarga korban yang mencari kejelasan nasib orang-orang yang mereka sayangi.
Tragedi Rana Plaza di tahun 2013 ini bukan dongeng atau rekayasa, yeorobun. Insiden yang menimbulkan lebih dari 3500 korban terdampak ini (baik yang luka-luka maupun meninggal dunia) menggerakan Andrew Morgan untuk mengusut tuntas dan mengungkap kebobrokan-kebobrokan yang terjadi dalam praktik garmen terbesar kedua di dunia (setelah Cina) itu.
Investigasi Morgan ternyata menghasilkan banyak sekali fakta mengejutkan, bahkan membuatku merinding. Tak pernah kubayangkan kalau ternyata brand-brand busana yang selama ini aku kenal (seperti Zara, H&M, Uniqlo dan yang lainnya) sangat tidak adil terhadap buruh serta lingkungan. Morgan lalu menuangkan hasil investigasinya ini dalam sebuah film dokumenter bertajuk “The True Cost” yang dirilis tahun 2015 silam. Silakan searching di YouTube, kalau penasaran.
Brand-brand fast fashion terkenal di dunia merupakan pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab atas dampak negatif fast fashion (Photo: JK Policy Institute/jkpi.org) |
Sustainable Fashion adalah Solusi Permasalahan Akibat Fast Fashion
Tragedi Rana Plaza—serta insiden-insiden garmen lainnya yang hampir luput dari perhatian—akhirnya menyadarkan banyak pihak. Dunia membutuhkan revolusi industri di bidang fashion yang lebih bertanggung jawab, beretika dan ramah terhadap lingkungan. Inilah yang mendorong gaungnya sustainable fashion atau ethical fashion atau slow fashion.
Definisi Sustainable Fashion
Fashion sendiri bisa dimaknai sebagai penampilan yang meliputi pakaian, aksesoris, tas, sepatu, tata rias hingga gaya rambut—meski komponen utamanya adalah pakaian. Sustainable fashion atau fashion yang berkelanjutan merupakan antitesis, solusi untuk mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh fast fashion.
Sustainable fashion bisa diartikan sebagai upaya atau praktik dalam dunia fashion yang mengutamakan nilai-nilai keberlanjutan dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya lingkungan dan kemanusiaan. Bagaimana agar fashion itu (apapun bentuknya) mulai dari gaya hidup individu hingga skala bisnis selayaknya memakmurkan dan meninggalkan kerugian seminimal mungkin. — Zero Waste Indonesia
Sementara itu, Jeanny Primasari, owner Khaya Heritage, berpendapat kalau sustainable fashion adalah gerakan yang mendorong pembuatan dan konsumsi pakaian tahan lama. Hal ini mencakup jadwal produksi yang lebih lambat, upah yang adil, jejak karbon yang lebih rendah dan (idealnya) nol limbah.
Fashion yang berkelanjutan ini diharapkan bisa mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan seperti meniadakan limbah dan mengurangi emisi karbon. Sekaligus, memperhatikan kesejahteraan buruh atau pekerja yang terlibat di dalamnya, di samping menjalankan roda ekonomi perdagangan.
Ciri-ciri Sustainable Fashion
Kalau melihat tujuannya, sustainable fashion memang terdengar adil bukan? Sebab, semua pihak yang terlibat dalam praktik industri ini: desainer, produsen, distributor, hingga konsumen, bersatu padu untuk menghasilkan suatu sistem fashion yang bersumber, diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi ke arah yang berkelanjutan.
Nyatanya, fast fashion tidak bisa benar-benar berubah menjadi sustainable kalau model bisnisnya sendiri pada dasarnya tidak berkelanjutan. — Shannon Whitehead
Sustainable fashion disebut juga dengan istilah ethical fashion bukan tanpa alasan, yeorobun. Menurut Jeanny Primasari, suatu produk fashion dapat dikatakan sustainable jika memenuhi persyaratan atau ciri-ciri:
- Beretika kepada pekerja atau buruh
- Beretika kepada lingkungan hidup atau alam
- Beretika kepada makhluk hidup lain
- Beretika kepada konsumen
Faktanya sekarang, brand-brand fast fashion rupanya ingin mengubah image mereka menjadi 'bertanggung jawab dan beretika' dengan melakukan praktik greenwashing. Tidak sedikit dari mereka yang mengklaim produknya ramah lingkungan, melabeli produknya dengan sebutan eco friendly, tetapi praktiknya masih jauh dari kata sustainable dan minim transparansi.
Greenwashing adalah strategi pemasaran yang dilakukan perusahaan untuk menarik konsumen yang mempunyai kesadaran lingkungan. Perusahaan memberikan citra produk, nilai dan tujuan yang ramah lingkungan, tanpa benar-benar melakukan upaya yang berdampak bagi kelestarian lingkungan. — Laruna.id
Korban dari praktik greenwashing ini bukan hanya lingkungan dan buruh yang bekerja, namun juga para konsumen. Ya, kita semua! Dengan membeli produk yang berlabel eco friendly, kita dibuat ikut merasa bersalah dan bertanggung jawab untuk memulihkan kerusakan lingkungan. Padahal kita tidak tahu pasti, bagaimana proses dan perjalanan panjang yang ditempuh produk-produk berlabel eco friendly palsu ini mulai dari diproduksi hingga didistribusikan ke pasar.
Implementasi Gaya Fashion yang Sustainable
Proses perancangan, produksi hingga distribusi produk fashion memang di luar kendali kita sebagai konsumen. Tetapi bukan berarti kita tidak bisa berkontribusi dalam ikhtiar mulia ini, yeorobun.
“Sebagai konsumen, Anda berhak untuk tidak membeli pakaian yang tidak bisa dipertanggung jawabkan latar belakang pembuatannya. Anda harus berani melakukan itu.” — Stella McCartney, fashion designer
Sarah Lazarovic, seorang creative designer yang aktif menyuarakan tentang climate change, membuat sebuah ilustrasi menarik bertajuk “The Buyerarchy of Needs” yang kemudian dialih bahasakan menjadi “Hirarki Pembelian Kebutuhan” pada tahun 2014 silam.
Hirarki Pembelian Kebutuhan menggambarkan tingkat prioritas dalam membeli kebutuhan sesuai konsep sustanaibility (Illustration: Sarah Lazarovic/Instagram) |
Re-think! Pikirkan kembali sebelum membeli pakaian. Utamakan memakai yang sudah kita punya di lemari. Kalau tidak ada, baru pinjam dari orang lain, entah saudara, teman atau tetangga. Kalau tidak bisa pinjam, cobalah untuk barter dengan orang lain yang punya. Kalau tidak bisa barter, coba beli bekas atau nge-thrift. Nge-thrift nggak dapat? Bikin sendiri deh atau minimal custom ke penjahit. Kalau kepepet sudah benar-benar tidak bisa, mungkin memang sudah saatnya beli baru. Ingat, beli baru hanya dilakukan ketika sudah tidak ada lagi pilihan yang bisa diambil!
Sebagai konsumen, kita harus bijak ketika memang terpaksa harus membeli pakaian baru. Beberapa hal yang perlu kita pastikan antara lain:
- Cek bahan baku; organik atau sintetis
- Cek ketahanan; termasuk modelnya everlasting dan desainnya yang multipurpose
- Cek produsennya; produk lokal lebih minim jejak karbon karena tidak menghasilkan emisi ketika didistribusikan ke konsumen
- Cek label; lagi-lagi bukan praktik greenwashing, tapi benar-benar mencantumkan label yang lengkap hingga ke perawatan produknya
Sustainable Fashion Brand Lokal yang Stylish dan Ramah Lingkungan
Jujur, harga produk sustainable fashion memang relatif lebih mahal daripada produk konvensional pada umumnya. Tetapi Laruna.id sudah menjawab hal ini dengan sangat gamblang dan mudah diterima.
Dibalik harga ini ada kualitas serta nilai sustainability yang konsumen dapatkan, mencakup bahan baku, biaya produksi, aspek eco friendly, biaya sertifikasi, serta ketahanan (tahan lama). Meski tidak bisa dipungkiri kalau minat konsumen terhadap produk-produk ramah lingkungan ini masih terbilang rendah.
Padahal sudah banyak brand lokal yang memproduksi item-item sustainable fashion. Pun, kita tetap bisa tampil trendy dan stylish dengan produk-produk yang ‘berbau alam’ ini, yang hanya memakai material organik mulai dari bahan baku hingga pewarnaannya.
Kalau berdasarkan pengalaman pribadi, bahan katun memang jauh lebih nyaman daripada polyester. Aku merasakan sendiri, pakaian yang terbuat dari katun murni lebih lembut di kulit, karena tidak panas serta tidak menimbulkan iritasi. Begitu pula dengan sutra yang lebih halus dari katun, serta linen yang 'adem' di kulit.
Ada satu pengalaman menarik dari perjalananku berclodi dengan si kecil. Kami punya satu clodi yang insert-nya terbuat dari katun bambu murni, bukan microfiber. Harganya memang lebih mahal daripada clodi lain yang kami miliki.
Karena kesalahanku yang terlalu menuruti kemalasan, aku jadi kurang memperhatikan clodi satu ini dan mencucinya asal-asalan. Suatu hari aku terkejut ketika mendapati insert clodi ini bolong-bolong, koyak di berbagai titik. Usut punya usut, rupanya aku terlalu lama merendamnya di dalam cairan detergen. Lagi-lagi karena masih keenakan rebahan.
Penyesalan memang selalu datang di akhir. Sayang sekali insert-nya jadi rusak karena kecerobohanku sendiri. Jujur, clodi ini adalah salah satu clodi favoritku karena punya desain yang chic, performanya terbaik, tidak bulky dan fit di badan si kecil.
Tetapi kejadian ini membuatku terperangah dan sadar, ternyata bahan katun organik ini memang sebagus itu. Urusan kenyamanan sudah tidak perlu diragukan. Buktinya si kecil tidak pernah mengalami keluhan atau iritasi selama pakai clodi ini. Tapi urusan ramah lingkungan, wah, aku terpesona!
Karena insert clodi ini sudah tidak bisa lagi digunakan, aku pun membiarkannya begitu saja di tanah pekarangan belakang dalam kondisi terbuka (tentu sudah bersih, sudah dicuci dan dikeringkan ya). Surprisingly, beberapa bulan kemudian aku terkejut karena insert katun bambu ini ternyata ‘hancur perlahan’ dengan sendirinya. Tidak perlu menunggu bertahun-tahun, yeorobun! Kejadian ini tentu tidak akan aku dapati ketika memakai bahan sintetis seperti microfiber.
Ini membuktikan bahwa bahan katun bambu (serta bahan organik lainnya) memang jauh lebih biodegradable dibanding bahan sintetis. Karena itu sudah sewajarnya kita mengapresiasi brand-brand lokal yang lebih mengutamakan pemakaian bahan baku organik, alih-alih bahan sintetis demi menekan biaya produksi.
Khaya Heritage, Desain Trendy Berkonsep Zero Waste Cutting
Kesadaran akan perubahan iklim dan kelestarian Bumi memotivasi seorang Jeanny Primasari untuk melahirkan Khaya Heritage. Ia ingin membuat pakaian yang nyaman dipakai dari bahan organik serta tidak menimbulkan limbah.
Khaya Heritage membuat pakaian dari bahan organik seperti katun, tencel dan linen, serta pewarnaan organik (eco printing) yang alami (Photo: Khaya Heritage/Instagram) |
Khaya Heritage hanya memproduksi pakaian yang terbuat dari katun, tencel serta linen. Katun merupakan kain yang berasal dari kapas. Tencel dihasilkan dari serat kayu namun punya tekstur yang halus, seperti sutra tetapi bukan dari kepompong ulat sutra, hingga disebut juga dengan sutra organik. Sementara linen dihasilkan dari serat tumbuhan flax atau rami, yang mempunyai kekuatan lebih baik daripada organic fabric lainnya, bahkan 2-3 kali lebih kuat dari katun, namun tetap lembut ketika dipakai.
Desain pakaian dibuat sendiri oleh sang owner, yang sengaja merancang model multipurpose dan timeless. Harapannya agar bisa dikenakan untuk segala acara baik casual maupun formal. Itulah mengapa Khaya Heritage senang membuat dress yang bisa berfungsi sekaligus sebagai outer. Desain seperti ini tetap cocok untuk pesta maupun pergi bekerja.
Desain multipurpose, dress sekaligus outer yang cocok dipakai untuk acara casual maupun formal (Photo: Khaya Heritage/Instagram) |
Pembuatan pakaian-pakaian ini dilakukan secara handmade, dibantu perempuan-perempuan kreatif, para artisan, yang dipercayai oleh sang owner. Seluruh prosesnya seideal mungkin tidak menghasilkan limbah kain perca (zero waste cutting). Kemudian untuk pewarnaannya, Khaya Heritage memakai bahan-bahan alami seperti daun jenitri, tanaman Indigofera tinctoria, hingga limbah kayu mahoni sisa industri furniture.
Untuk meminimalisir jejak karbon yang timbul akibat proses distribusi produk, Khaya Heritage melayani pesanan custom dan pre-order bagi konsumen. Menariknya, Khaya Heritage juga mengajak seluruh anggota keluarga untuk berkontribusi dalam gerakan fashion berkelanjutan ini dengan membuat pakaian untuk pria dan anak-anak.
Selain wanita dewasa, Khaya Heritage juga membuat pakaian untuk pria dan anak-anak (Photo: Khaya Heritage/Instagram) |
Ulur Wiji, Dari Desa Bisa Berdaya
Selaras dan seperjuangan dengan Khaya Heritage, Ulur Wiji hadir mendobrak dunia fashion dengan pesona batiknya yang digandrungi kaum muda. Dari pelosok sebuah desa di Mojokerto, Nasta Rofika (co-founder Ulur Wiji) bersama timnya membuat gaya fashion batik menjadi lebih estetik dan menarik dengan tetap memperhatikan etika terhadap lingkungan.
Ulur Wiji membuat pakain batik jadi lebih diminati anak muda dengan desain yang stylish dan kekinian, namun tetap memperhatikan etika terhadap lingkungan (Photo: Ulur Wiji/Instagram) |
Alumni Teknik Lingkungan ITS itu paham betul bahwa limbah tekstil yang dihasilkan dari industri fashion adalah permasalahan serius yang sedang dihadapi penduduk dunia. Inilah yang kemudian melahirkan tiga value utama dari Ulur Wiji. Pertama, cinta budaya yakni mengenalkan batik sebagai budaya Indonesia melalui fashion. Kedua, eco friendly yakni memanfaatkan bahan-bahan dari alam sekaligus sebagai bentuk kontribusi menjaga lingkungan. Ketiga, empowering youth yaitu memberdayakan kaum muda.
Ulur Wiji ingin mengubah pandangan masyarakat tentang batik yang dianggap identik dengan acara-acara atau golongan tertentu. Faktanya, batik tetap estetik di segala suasana dengan desain yang tepat. Pun tidak harus melulu dipakai orang tua, sebab dengan desain yang stylish dan kekinian kain batik bisa dipakai oleh semua golongan termasuk anak muda.
Dalam praktiknya, Ulur Wiji menjamin aspek sustainability produk melalui penggunaan material kain dari serat alami yang biodegradable, pewarna alami dari tumbuhan (eco printing atau natural dyeing), desain yang kontemporer dan custom-made, hingga packaging yang ramah lingkungan serta menjunjung tinggi keadilan (fair) kepada para artisan selaku pekerja.
Proses ekstraksi dan pewarnaan kain batik menggunakan bahan-bahan alami yang ramah lingkungan (natural dyeing) (Photo: Ulur Wiji/Instagram) |
Pewarna alami yang digunakan Ulur Wiji berasal dari tumbuhan-tumbuhan seperti Swietenia mahagony (kiri) dan Strobillantes cusia (kanan) (Photo: Ulur Wiji/Instagram) |
Tidak cukup sampai di situ, nilai empowering youth Ulur Wiji juga juga diwujudkan dengan mengajak para pemuda desa untuk berdaya. Nasta Rofika mengaku senang mengedukasi para pemuda, sehingga ia ingin para pemuda ini lebih mencintai budaya Indonesia khususnya batik. Tidak mengherankan kalau saat ini sekitar 70 persen karyawannya merupakan anak-anak muda yang bahkan baru lulus SMA.
Hebatnya lagi, produk-produk batik ini rupanya telah sampai ke pasar luar negeri seperti Kanada dan Jepang. Bayangkan, betapa kerja keras mereka untuk budaya, sosial-ekonomi dan lingkungan telah membawa dampak yang luas di dunia internasional, bukan hanya di Tanah Air.
Empowering youth, Ulur Wiji mengajak para perempuan dan pemuda desa untuk berdaya dengan menghasilkan produk fashion yang sustainable (Photo: Ulur Wiji/Instagram) |
Seolah tidak pernah berhenti mengabdi pada lingkungan, baru-baru ini Ulur Wiji juga berkolaborasi dengan Lindungi Hutan untuk mengembalikan kemewahan fasilitas di hutan Wonorejo, Surabaya. Mereka sadar bahwa pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan batik Ulur Wiji berasal dari ekstraksi tumbuhan Ceriops tagal, salah satu jenis mangrove yang telah digunakan sebagai pewarna tekstil sejak zaman nenek moyang.
Meski memanfaatkan sisa-sisa tumbuhan yang telah lapuk untuk diekstraksi, Ulur Wiji tetap ingin menjaga nilai cinta lingkungan dengan berupaya mengembalikan ke alam sebaik yang bisa mereka lakukan. Harapannya, kolaborasi dengan Lindungi Hutan bisa membawa kembali kelestarian hutan Wonorejo sesuai dengan fungsinya.
Summary
Yeorobun, sustainable fashion atau ethical fashion merupakan upaya untuk mewujudkan industri fashion yang lebih ramah lingkungan, beretika terhadap pekerja, serta konsumen. Gaya fashion yang berkelanjutan ini adalah solusi terbaik saat ini untuk menjawab permasalahan yang ditimbulkan oleh industri fast fashion.
Meski demikian, beralih ke gaya fashion yang sustainable seyogianya tidak serta-merta dimaknai sebagai mengganti semua isi lemari dengan produk-produk ramah lingkungan. Bagaimanapun juga, produk yang paling sustainable adalah produk yang sudah ada di lemari kita. Jadi, utamakan memakai apa yang kita punya sebelum membeli yang baru.
"Pakaian yang paling sustainable adalah pakaian yang sudah ada dalam lemarimu." — Orsola de Castro, Fashion Revolution
Jika memang tidak ada pilihan lagi selain harus membeli, maka kewajiban kita sebagai konsumen adalah bijak ketika membeli serta mengutamakan produk sustainable fashion dari brand-brand lokal yang memang bisa dipertanggung jawabkan. Selain ramah lingkungan, membeli produk eco friendly lokal ini juga turut membantu roda perekonomian dalam negeri, sekaligus meningkatkan penyerapan sumber daya manusia di berbagai daerah.
Brand-brand lokal menghasilkan emisi karbon yang jauh lebih sedikit, karena telah memangkas jarak yang ditempuh selama pendistribusian produk kepada konsumen.
Memakai produk sustainable fashion lokal tidak akan mengurangi nilai mode dan estetika. Kita tetap bisa tampil stylish dan kekinian dengan desain yang timeless dan multipurpose.
Selain itu, kita juga bisa turut berkontribusi dalam upaya pelestarian Bumi dengan bergabung komunitas-komunitas peduli lingkungan. Mari kita mulai dari yang paling sederhana, seperti memperhatikan busana yang kita kenakan. Temukan tips-tips dan inspirasi fashion ramah lingkungan dari Laruna Indonesia Fashion Forum. Kita juga bisa turut berkontribusi dengan menuliskan gagasan maupun keresahan seputar fashion ramah lingkungan melalui tautan https://laruna.id/contributor/.
Semoga kesadaran penduduk Bumi akan sustainable fashion makin meningkat. Mari kita dukung sustainable fashion brand lokal agar semakin dikenal dunia dan semakin meluaskan manfaatnya untuk Bumi dan lingkungan. Selamat berproses!
***
Penulis menyampaikan terima kasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Khaya Heritage dan Ulur Wiji, yang telah memberikan izin untuk menggunakan property foto, bahan tulisan serta inspirasi untuk terus mencintai lingkungan. Semoga semangat Khaya Heritage dan Ulur Wiji untuk menciptakan fashion yang sustainable bisa mengilhami banyak orang di berbagai tempat di Bumi tercinta ini.
Referensi
- 6 Alasan Kenapa Produk Sustainable Lebih Mahal dari Produk Konvensional di Sektor yang Sama - https://laruna.id/6-alasan-kenapa-produk-sustainable-lebih-mahal-dari-produk-konvensional-di-sektor-yang-sama/
- Yuk, Pakai Produk Ramah Lingkungan! Brand Indonesia yang Sustainable Fashion - https://laruna.id/yuk-pakai-produk-ramah-lingkungan-brand-indonesia-yang-sustainable-fashion/
- Greenwashing: Pengertian, Ciri-ciri, dan Cara Menyikapinya dalam Sustainable Fashion - https://laruna.id/greenwashing-dalam-sustainable-fashion/
- Apa itu Fesyen Berkelanjutan (Sustainable Fashion)? - https://zerowaste.id/zero-waste-lifestyle/apa-itu-fesyen-berkelanjutan-sustainable-fashion/
- Sustainable Fashion Brand di Indonesia - https://waste4change.com/blog/brand-tekstil-sustainable-di-indonesia/
- Sustainable Fashion, Solusi di Tengah Perkembangan Industri Fashion yang Cepat - https://narasi.tv/read/narasi-daily/suistainable-fashion-adalah
- Ulur Wiji Keajaiban Bisnis Batik di Tengah Ganasnya Pandemi - https://www.sonora.id/read/423105997/ulur-wiji-keajaiban-bisnis-batik-di-tengah-ganasnya-pandemi
Gak nyangka banget, perjalanan panjang sebuah produk yang biasa kita pakai sehari-hari ini membutuhkan banyak tangan dan banyak sampah. Jadi mulai sekarang, kudu lebih jeli dan teliti lagi saat ingin berbelanja, terutama kebutuhan fashion.
ReplyDeleteDuh, jadi sangat tersadarkan bahwa hal kecil yang kita anggap baik-baik saja selama ini, semisal beli baju baru, dampaknya bisa sangat besar pada kebaikan bumi. Mesti mikir banyak sebelum beli baju lagi karena tiap hari memang teracuni oleh mode-mode baru, nih.
ReplyDeleteSaya belajar banyak dari bacaan ini, lengkap sekali buat saya. Selama ini, enggak mikir apa-apa bila memberi pakaian. Sekarang jadi mikir dulu...
ReplyDeleteSustainable fashion - itulah makanya sekarang ini bisnis thrifting atau pakaian bekas mulai dilirik orang ya ... bermanfaat banget pakaian bekas yang masih sangat layak pakai dijual kepada orang lain agar bisa dimanfaatkan lagi.
ReplyDeleteEtika memang sangat penting. Janganlah karena demi harga termurah lalu para pegawai dijajah seperti budak dan para konsumen ditipu. Saya juga prihatin dengan fenomena fast fashion yang semakin menggila.
ReplyDeleteSudah saatnya tren fashion beralih menggunakan bahan yang bisa di daur ulang dan lebih ramah lingkungan untuk mengurangi beratnya beban bumi karena banyaknya sampah yang tidak bisa terurai atau bisa terurai dalam waktu lama. Anak cucu kita masih membutuhkan bumi yang nyaman untuk ditinggali, karena itu perilaku sustainable harus terus ditingkatkan.
ReplyDeleteHarus sering lagi nih disosialisasi tentang manfaat dari sustainable fashion. Kalau soal fast fashion, peredarannya begitu cepat karena juga banyak brand besar main di sana. Semoga sih, ada brand besar lain yang memang milih fokus untuk kembangin nih sustainable fashion, jadinya perlahan masyarakat mulai suka dengan jenis fashion ini.
ReplyDeleteAuto baca baca lebih soal Rana Plaza ini di Google, infonya menarik.
ReplyDeleteO iya dengan menerapkan sustainable fashion kita bisa lebih banyak waktu untuk gak banyak keluar rumah terutama ke Plaza atau Mall untuk berbelanja baru baru.
Pernah baca juga berita tentang Ulur Wiji, pernah diliput Inews juga ya
sustainable fashion ini sebenarnya harus mulai digencarkan agar perlahan masyarakat mulai sadar akan hal ini dan mau menggantu habbitnya. Karena kalau di Indonesia sendiri, fast fashion justru masih banyak sekali, apalagi dijual dengan harga yang murah, bikin masyarakat tergiur untuk terus terus konsumtif. Thanks ka sudah sharing
ReplyDeleteMenarik ya, meskipun menggunakan bahan alami tapi desainnya tetap stylish, tidak kalah dengan yang menggunakan bahan sintetis.
ReplyDeleteInisiatif seperti ini patut diapresiasi, karena mereka tidak hanya berfokus pada keuntungan bisnis semata, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan dan masyarakat sekitar. Semoga kolaborasi Ulur Wiji dan Lindungi Hutan menjadi contoh bagi perusahaan lain untuk ikut berkontribusi dalam menjaga alam dan memelihara warisan lingkungan untuk masa depan yang lebih baik.
ReplyDeleteWuih keren banget ya kak. Bukan cuma modelnya yang cantik dan nyaman tapi juga ramah lingkungan. Recommended nih
ReplyDeleteInformasinya sangat lengkap kak, sekaligus membuat aku melek akan dampak fast fashion ini. Gak nyangka ya segitu buruknya dampak fast fashion buat lingkungan kita.
ReplyDeleteSustainable Fashion memang dapat menjadi alternatif untuk mengurangi limbah serta dampaknya bagi lingkungan. Hanya saja saya melihat tren ini tidak lebih dari sekedar "bisnis".
ReplyDeleteAgar bisa tercipta sustainable fashion memang diperlukan peran berbagai pihak Kalau sinergi belum tercipta, hasilnya akan kurang maksimal.
ReplyDeleteSustainable fashion ya. Kalau dipikir-pikir perkembangan fashion emang cepat sekali. Rasanya akan selalu ada model baru untuk fashion. Tapi sayangnya bikin dilema juga sama limbahnya. Kalau yang sustainable kan enak ya. minimal nggak ada limbahnya. atau sedikitlah...
ReplyDeletepake baju itu itu aja harusnya gak dipermalukan karena itu salah satu perilaku konsumen yang sadar dengan industri pakaian yang banyak gak sadar lingkungan. setidaknya gak nambah pakaian yang gak terpakai.
ReplyDeleteKerennya tulisan ini Kak. Mengupas jauh industri fashion, terutama fast fashion dan pengelolaannya yang ternyata banyak berdampak buruk bagi lingkungan. Hix. Tapi turut senang juga membaca informasi di sini karena ternyata sekarang desainer Indonesia pun sudah banyak yang sudah berkecimpung dalam bisnis sustainable fashion.
ReplyDeleteternyata banyak rahasia dibalik industri fashion. Aku langsung cari film The True Cost loh kak di Youtube, penasaran nih
ReplyDeleteBagus, ini artikel menjadi pecutan buat para pengusaha harus lebih memberikan perhatian dan perlindungan untuk setiap karyawannnya
ReplyDeletesupaya sustainable fashion dapat berkembang jauh dan dikenal secara luas, kayanya emang perlu promosi yang cukup luas dan melalui artikel ini smoga menjadi inspirasi para pengusahaan fashion untuk memberi perhatian kepada rekan2 karyawannya juga.. trims udah berbagi informasinya
ReplyDeleteGak pernah kebayang ya.. kalau baju yang kita gunakan ada kesedihan kisah dibalik para pekerjanya, misalnya... atau alam yang menjadi memburuk karena limbahnya.. Kok jadi mellow banget.. Semoga tulisan Alfi dibaca sama mas Jaemin, biar dia gak belanja baju teruuss... Pake yang ada aja, kaya Daddy Lele gittuu..
ReplyDeleteSalut banget dengan Ulir Wiji. Memang ya menggunakan bahan yang ramah lingkungan itu butuh proses, memakan waktu dan biaya tapi hasilnya luar biasa. Ini ditambah sentuhan modern, hasilnya emang keren ..
ReplyDeletePenyampaian dari artikel ini cukup mendalam dan bikin kita jadi melek. sustainable fashion dapat berkembang lebih jauh lagi
ReplyDeleteBrand lokal makin berkembang banyak ya kak dan pintar-pintar kita memilih brand lokal. Cuma saya sedikit heran kenapa beberapa brand lokal harganya sangat tinggi ini jadi masalah saat bersaing dengan brand lain yang sudah populer
ReplyDeleteGak hanya soal bahan baku bangunan ramah lingkungan maupun meminimalisr sampah plastik, urusan fashion juga kudu mempertimbangkan dampak lingkungannya. hayuuk, kita semangat sustainable fashion
ReplyDeleteAku sering mendengar tentang kelamnya nasip para buru pabrik garmen. Upanya jauh perbandingannya dengan harga jual barang yang mereka hasilkan. Ulur Wuji unik banget warnanya. Kalau pakai pewarna alami emang beda ya dibanding pakai warna sintetis.
ReplyDeleteMbak, aku ga nyangka sedalam itu ya sustainable fashion, tidak hanya pada lingkungan, tetapi juga pada pekerja yang mendukung industri fashion
ReplyDeleteJadi reminder untuk tidak berlebihan, pakai yang ada dan lebih kreatif untuk padu padan
hidup preloved dan thrift! itu moto saya kak, hihihi. ya alhamdulillahnya saya jarang beli baju baru kecuali buat lebaran. baik untuk saya dan keluarga. gak hanya pakaian sih, tas juga begitu.tapi saya lagi mau nyobain nih beralih ke susitainable fashion juga, meski agak pricey yaa tapi gak apa-apa demi ikut mengatasi masalah climate change. btw auto kepin akun instagramnya Sarah Lazarovic loh aku, terkesima dengan hirarki yang dia buat.
ReplyDeleteSebenarnya kasus tentang nasib buruh garment tidak hanya terjadi di Bangladesh saja, di suatu negeri sebut saja negeri Konoha, banyak sekali kasus buruh garmen yang tidak mendapatkan haknya secara adil, mulai dari jam kerja yang panjang, upah yang minim, serta lembur yang tidak dibayar sudah menjadi persoalan yang mengakar. Namun setiap kali ada seorang yang mencoba untuk mengungkapnya selalu saja ada yang menghalangi. Dan para buruh pun tidak berani untuk bersuara lebih keras lagi karena ancaman kehilangan pekerjaan, jadi serba salah ya
ReplyDeleteKalau saya, untuk fashion, sengaja jarang membeli pakaian dalam waktu yang bersamaan, biasanya saya membeli pakaian ketika pakaian itu sudah rusak dan tidak bisa diperbaiki lagi, kalau pun beli celana panjang, saya beli lagi yang baru ketika sobeknya sudah tidak bisa dibenerin lagi, jadi saya beli pakaian itu ketika sudah tidak layak untuk dipakai lagi, dan tidak bisa diperbaiki lagi
Menarik nih, sustainable fashion yang ramah lingkungan.. Tulisan ini menjadi pengingat buat aku, karena membeli baju terkadang gak banyak pertimbangan seperti ini.. Ternyata benar2 ada kaitannya dgn keadaan lingkungan kita yaa.. Dan langka banget karya Khaya Heritage sepertinya benar memilih bahan2 yang berkualitas utk kita pergunakn dgn baik yaa..
ReplyDeleteTragedi di Dhaka parah banget ya.. Jadi banyak masyarakat yang akhirnya tahu dan aware soal fast fashion.. Kita gak bisa menahan pertumbuhan fast fashion ini tapi seenggaknya kita bisa mengontrol diri kita sendiri buat lebih bijak dalam hal fashion ya seperti menahan diri untuk nggak membeli barang fashion ketika yang lain masih bisa digunakan. :)
ReplyDeleteternyata suistainable fashion itu bukan cuma dari bahan ya tapi sampai ke para pekerjanya juga diperhatikan. aku sendiri beberapa kali menyesal beli baju yang kainnya bukan katun kayak crinckle gitu tahunya bikin gerah dan malah nggak enak dipakai. huhu
ReplyDeleteSepertinya bukan hanya industri fashion yg menyumbang kerusakan lingkungan karena kultur instan dan fast. Fast food, fast fashion, fast packaging, dan fast-fast lainnya susah menjadi budaya manusia masa kini. Hingga dunia dipenuhi sampah yang sulit dicerna bumi. Dan semua itu bersumber dari ketamakan manusia, khususnya pelaku industri massal atau produsen raksasa di semua bidang produk.
ReplyDeleteAku adalah tim yg termasuk jarang beli baju, dan tim yang suka pinjem baju ibuk karena ukuran sama hehe
ReplyDeleteWah ternyata brand2 ternama itu masih kurang memerhatikan lingkungan ya padahal banyak yang bela2in beli baju bermerek nan mahal demi fashion tpi ternyata gak ramah lingkungan huhu sedih banget dengar fakta ini. Untung skrg sdh ada istilah sustainable fashion jadi perlahan Qt bisa mulai beralih kesana demi keberlangsungan lingkungan untuk generasi kita kedepannya.
ReplyDeleteUlasan yang sangat menarik tentang sustainable fashion. Pengetahuan saya kian bertambah, jadi lebih aware milih merk baju, toh saya beli baju juga nggak mesti tiap tahun, tapi jika bia berbuat lebih baik untuk lingkungan kenapa tidak ya kan. terimakasih sharingnya
ReplyDeleteTerimakasih infonya. Membuat saya lebih peduli untuk berupaya mengenali merk fashion yang menerapkan etika sutainable fashion
ReplyDeleteAgree, utamakan dulu saja memakai apa yang ada dan kita punya. Malah kalau lagi liburan di rumah, baju yang dipakai itu-itu saja, ampe belel. xixix.
ReplyDeleteBegitu disadari dengan jelas bahwa tindakan-tindakan kecil yang tampaknya tidak berdampak besar, seperti membeli baju baru, sebenarnya dapat memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap kesejahteraan bumi.
ReplyDeleteBenar sekali
ReplyDeleteSampah fashion juga banyak banget
Penting untuk menggunakan sustainable fashion seperti ini ya kak
Sepenuhnya setuju! Menggunakan produk sustainable fashion lokal adalah langkah penting dalam mendukung pelestarian lingkungan dan bumi secara keseluruhan. Memilih produk yang ramah lingkungan tidak berarti harus mengorbankan nilai mode dan estetika, karena banyak brand lokal yang telah menghadirkan desain yang stylish dan timeless.
ReplyDeleteNgomongin fashion selalu menarik apalagi tiap tahu ada saja yang baru. Tapi ya itu, pasti banyak hasilin sampah dan lainnya. Aku sendiri sudah lama gak gila-gilaan soal pakaian. Beli kalau butuh. Kalau bisa, beli yang tahan lama
ReplyDeleteAku sebagai yang jarang beli baju juga lebih sering beli preloved, ditambah gak suka pakai baju yang terlalu banyak style-nya gitu loh jadi malah bingung. Jadilah style aku gitu2 aja karena selalu repeat outift yang ada aja hehe
ReplyDeleteWah keren ya, kayaknya sekarang juga sudah mulai banyak brand-brand yang mengkampanyekan soal sustainable fashion ini.
ReplyDeleteaku yang pengen punya lini fashion sendiri berharap nantinya bisa nerapin program sustainable fashion ini
ReplyDeletedan ternyata oh ternyata untuk disebut sustainable prosesnya juga ga mudah, semua-muanya harus berdasar sama dampak lingkungan sekitar dan tim yang bekerja dengan kita
keren juga ya, apalagi pelaku usaha fashion yang bener bener cinta fashion dan lingkungan memadukan jadi satu
Keren sekali artikelnya kak. Sustainablle fashion menjadi salah satu jalan aman untuk membantu mengurangi efek buruk industri fashion pada lingkungan. Mungkin banyak yang akan keberatan, karena rata-rata harga sustainable fashion itu mahal-mahal. Saran saya, bisa menggunakan baju yang sudah kita punya secara berulang, atau mix and match gitu.
ReplyDelete