admasyitoh.com

Sisi Kelam Industri Fesyen Terungkap, Pikir Ulang Sebelum Beli Pakaian!

13 comments

sisi kelam industri fesyen

Yeorobun, apakah kamu tahu tentang sisi kelam dunia fesyen? Sudah pernah dengar istilah sustainable fashion? Fesyen yang ramah lingkungan, fast fashion, ecofashion atau slow fashion? Kali ini aku ingin berbagi insight dari webinar yang aku ikuti beberapa bulan lalu.

Sebetulnya webinar ini sudah agak lama pelaksanaannya. Sekitar akhir Oktober 2021 lalu. Tapi karena materinya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini–bahkan sangat relatable dengan kehidupan sehari-hari–aku ingin mengangkat tema ini.

Sekaligus, untuk mengingatkan diri tentang peran penting manusia untuk menjaga lingkungan dan Bumi tercinta, dimulai dari yang paling sederhana seperti kebiasaan berbusana.

Semoga kamu bisa mengambil manfaat di dalamnya. Dan, alangkah lebih indah jika bisa menjadi inspirasi untuk ikut berpartisipasi dalam usaha mencintai Bumi dan menjaga alam sekitar kita. Semoga!

WEBINAR FESYEN RAMAH LINGKUNGAN

webinar fesyen ramah lingkungan

Sejak aktif berclodi, aku memang tertarik sekali dengan isu-isu yang menyangkut gaya hidup nol sampah (zerowaste lifestyle), pola hidup ramah lingkungan, mitigasi bencana iklim dan sejenisnya. Karena sangat relatable dengan kehidupan sehari-hari, ada rasa prihatin ketika aku melihat kondisi di sekitar kita saat ini.

Seperti fenomena fast fashion contohnya. Jujur, baru di webinar ini aku tahu istilah fast fashion, slow fashion dan kawan-kawannya. Selama ini aku tidak pernah menyangka bahwa industri fesyen ternyata juga bertanggung jawab dalam perubahan iklim global.

Seumur-umur cuma terima baju jadi, yang tinggal pakai, cuci, kering, pakai lagi. Kalau bosan atau butuh yang baru ya tinggal beli lagi.

Faktanya, ternyata tidak sesimpel itu, yeorobun. Di balik itu, ada perjalanan panjang bagaimana baju-baju ini bisa kita pakai. Dan dalam prosesnya, industri ini rupanya turut berperan memperparah kondisi Bumi yang memprihatinkan ini.

Fakta-fakta dan insight lainnya tentang fesyen ini dikupas secara komprehensif oleh narasumber saat itu, Mbak Jeanny Primasari dari Zerowaste Nusantara, sekaligus owner Khaya Heritage. Dalam webinar yang berlangsung sekitar dua jam itu, moderator Mbak Ainun dari Umaiyo Clodi, juga mengajak para peserta untuk berdiskusi aktif dengan narasumber.

Webinar ini sendiri merupakan salah satu agenda yang rutin diselenggarakan oleh Klodiz-Minikinizz sebagai bentuk usaha atau edukasi kepada khalayak tentang semangat hidup ramah lingkungan. Jadi mereka tidak cuma produksi clodi lokal dan menspad, yeorobun. Ada komitmen berjuang yang ingin diteruskan kepada masyarakat tentang usaha menjaga lingkungan. Salut!

Pengertian Fesyen

Fesyen (bahasa Inggris: fashion) dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengandung makna sebagai mode. Kata ini merujuk pada segala sesuatu yang berkaitan dengan mode pakaian, busana atau baju. Industri fesyen artinya ialah industri yang menggarap mode busana.

Menurut Mbak Jeanny, fesyen merupakan bagian dari kehidupan modern yang sangat menarik minat dan mendapat perhatian khusus, karena bisa merepresentasikan image atau identitas seseorang. Karena itulah, industri fesyen bisa menjadi salah satu industri terbesar di dunia.

pengertian fesyen

Sebagai orang awam, tbh, aku tidak tahu persis bagaimana industri fesyen ini bekerja. Yang ada dalam benakku, industri fesyen adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan produksi baju, garmen, mulai dari memilih bahan atau kain, menjahit hingga menjadi baju siap pakai, sampai segala printilan-printilannya seperti tas, topi dan sepatu. Termasuk, yang ada dalam bayanganku adalah pameran atau peragaan busana yang sering diadakan di kota-kota besar.

Kalau kamu pernah nonton drama Korea Now We Are Breaking Up, kamu mungkin bisa dapat pencerahan bagaimana sebuah model baju dibuat. Dari pembuatan desain, riset pasar, pemilihan bahan sampai pemasaran produk fesyen digambarkan dengan cukup gamblang di sana.

Drama ini memang menjelaskan konflik-konflik yang dialami oleh tokoh utama yang bekerja sebagai desainer pakaian. Sayangnya, drama ini luput mengangkat isu lingkungan yang timbul dari industri fesyen itu sendiri.

Padahal yeorobun, ternyata industri modern satu ini tidak hanya berisi kemewahan dan keglamoran yang terlihat menyilaukan mata. Bukan cuma tentang brand-brand pakaian terkenal.

Kamu pasti kenal merk-merk busana seperti Zara, Nike, Gap, H&M, Forever21, Levi's atau Stradivarius. Iya kan? Merk-merk baju yang punya model unik, modern, kekinian dan sering dipakai artis atau publik figur.

Tapi apakah kamu tahu bahwa industri fesyen juga menyimpan sisi kelam yang sangat berdampak pada kelestarian lingkungan, alam dan Bumi tercinta?

Perkembangan industri fesyen tidak diimbangi dengan kesadaran ekologi dan sosial. Pelaku bisnis fesyen terlalu menutup mata terhadap dampak fesyen. Sedangkan konsumen terbuai oleh iklan dan foto glamor produk dan para model.

Tidak terpikir oleh mereka, bagimana ini dibuat? Oleh siapa dan dimana? Serta kemana perginya semua ini setelah tidak bisa dipakai dan dibuang?

"Setiap tahun ada 53 juta ton pakaian dihasilkan. Sebanyak 87% di antaranya berakhir di TPA dan dibakar. Ini merupakan demonstrasi dari sistem yang rusak." (Ellen Macarthur, Founder Macarthur Foundation pada Copenhagen Fashion Summit 2018)

Sisi Kelam Industri Fesyen

Mari kita perhatikan gambar di bawah ini. Sekilas gambarnya menarik ya, warna biru abstrak dan kelihatan cantik. Padahal ini gambar pembuangan pabrik kain yang cat pewarnaannya kemudian mencemari aliran sungai. Atau, coba kita lihat gambar gunungan baju bekas yang di sebelah kanan. Banyak sekali 'kan?

limbah industri fesyen

Yeorobun, industri fesyen adalah salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia. Limbah ini berasal dari buangan pabrik mulai pembuatan benang, kain, pewarnaan, pemotongan (sisa perca) penjahitan dan pengemasan.

Selain itu juga berasal dari konsumen yang membuang baju karena dianggap tidak up-to-date, rusak karena kualitasnya rendah, sudah bosan, serta dinilai kurang berharga karena harganya murah.

Well, mari kita runut dari awal. Mulai dari bagaimana kain dihasilkan sampai dibuang setelah menjadi pakaian.

Pada proses pembuatan kain, dibutuhkan katun (cotton) atau kapas sebagai bahan baku. Pada proses pertanian, racun dihasilkan dari pestisida dan pupuk yang digunakan untuk bisa menanam dan memanen kapas.

Selain itu, tanah dan air yang digunakan untuk produksi katun telah menyita lahan produktif dan air bersih, yang seharusnya bisa dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan di negara-negara produsen katun.

Racun kembali dihasilkan selama proses pembuatan dan pewarnaan kain. Padahal racun ini bisa merusak lingkungan, serta terserap ke kulit manusia ketika dipakai. Dan, bahaya pewarna tekstil ini tidak main-main, yeorobun.

Setelah produk jadi dan didistribusikan ke seluruh dunia, proses perpindahan produk ini pun turut menyumbang limbah berupa sisa kemasan produk dan jejak karbon.

Belum berhenti sampai di situ, kalau produk sudah dibeli konsumen, lalu konsumen sudah bosan atau produknya rusak, buangan baju-baju ini juga mencemari lingkungan karena tidak bisa didaur ulang. Hanya berakhir di TPA lalu ujung-ujungnya dibakar. Hasilnya? Gas rumah kaca pun dilepaskan ke udara.

Bagaimana yeorobun? Sudah terlihat kah bagaimana dampaknya industri fesyen ini bagi lingkungan?

Kalau masih belum cukup, kamu bisa menonton film The True Cost yang dirilis tahun 2015 silam. Film ini merupakan dokumenter investigasi yang dilakukan oleh Andrew Morgan untuk mengungkap kasus runtuhnya Rana Plaza, sebuah pabrik pakaian di Bangladesh, yang membunuh lebih dari 1.000 orang buruh tahun 2013.

tragedi rana plaza dan the true cost

Yang menarik, dalam film ini Morgan berusaha merunut secara gamblang semua kemungkinan masalah yang akan terjadi jika penduduk di seluruh dunia ketergantungan membeli produk-produk fast fashion.

Fast Fashion vs. Slow Fashion

Industri fesyen yang ada saat ini didominasi oleh fast fashion. Mbak Jeanny menuturkan bahwa fast fashion adalah interpretasi gaya hidup konsumtif, dimana masyarakat merasa dituntut untuk tampil modis setiap saat, membeli busana dengan model terbaru, lalu membuang yang dianggap sudah tidak trendi lagi.

brand penyumbang fast fashion terbesar

Tahukah kamu bahwa mindset ini sendiri sebenarnya merupakan propaganda produsen fesyen, supaya bisa menjual produk lebih banyak dan meraih keuntungan yang lebih besar.

Produk fast fashion sengaja dibuat dengan siklus hidup yang singkat. Trennya cepat berlalu, kualitasnya rendah (sehingga mudah rusak dan tidak nyaman dipakai) dan harganya murah. Biaya produksi ditekan seminimal mungkin dengan cara menekan ongkos bahan baku dan upah buruh semurah mungkin.

Dalam setahun, trend fast fashion bisa berubah hingga 7-9 kali. Tiap musim berganti, maka berubah pula tren fesyen yang diproduksi. Jangan heran, bisa dibilang memang inilah 'akal-akalan' produsen untuk meraup keuntungan tinggi.

Nah, kalau sudah begini? Kemana kah baju-baju yang tidak laku atau tidak habis di musim sebelumnya? Jawabannya jelas, yeorobun. Lagi-lagi dibuang ke TPA. 

International Journal of Research (IJR) mengemukakan bahwa negara-negara ketiga (third world countries) seperti Bangladesh, Kamboja, India dan negara-negara lainnya, sering menjadi korban dari industri fast fashion ini. Pabrik didirikan di negara mereka, limbahnya pun dikumpulkan di sana.

Di sana, hak-hak buruh masih rendah. Akibatnya biaya produksi berupa ongkos buruh pun bisa ditekan serendah mungkin.

Berbeda dengan harga bahan baku yang memiliki batas harga minimum, upah buruh bisa ditekan serendah-rendahnya, terutama dalam kondisi dimana para buruh harus bertahan hidup sehingga mau tidak mau harus menerima tawaran upah super rendah.

Di tahun-tahun berikutnya, para produsen lalu menggencarkan produk-produk yang diklaim sebagai sustainable fashion (fesyen berkelanjutan) untuk menutupi isu kesejahteraan buruh. Produk-produk ini diklaim lebih sustain karena memperhatikan nasib buruh yang bekerja di pabrik, selain menanggulangi isu lingkungan dan iklim.

Akan tetapi, faktanya peluncuran produk-produk yang diklaim ramah lingkungan ini ternyata tidak bisa mengubah fast fashion menjadi sustainable.

Di masa pandemi misalnya, penjualan dan pendapatan fast fashion menurun drastis. Agar tidak rugi, para produsen memilih untuk memutus kontrak dengan pabrik-pabrik garmen. Mereka bahkan tidak mau membayar produk-produk yang sudah selesai diproduksi dan siap dikirim.

"Fast fashion tidak bisa benar-benar berubah menjadi sustainable karena model bisnisnya sendiri pada dasarnya tidak berkelanjutan." (Shannon Whitehead)

Yeorobun, Mbak Jeanny mengungkapkan setidaknya ada empat kriteria untuk bisa dikatakan sebagai sustainable fashion.

  • Beretika terhadap pekerja atau buruh
  • Beretika terhadap lingkungan hidup atau alam
  • Beretika terhadap makhluk hidup lain, dan
  • Beretika terhadap konsumen

Sebutan lain dari sustainable fashion ini adalah slow fashion, ecofashion, ethical fashion, conscious fashion atau fair fashion.

"Slow fashion adalah gerakan yang mendorong pembuatan dan konsumsi pakaian tahan lama. Hal ini mencakup jadwal produksi yang lebih lambat, upah yang adil, jejak karbon yang lebih rendah dan (idealnya) nol limbah." (Jeanny Primasari, owner Khaya Heritage)

Oleh karena itu, sebagai konsumen kita wajib berkontribusi untuk mengurangi dampak fast fashion ini dengan cara beralih ke produk slow fashion.

Sebelum membeli baju, ada baiknya kalau kita memeriksa dulu bahan baju yang akan dibeli. Siapa pembuatnya dan di mana pabriknya. Apakah bisa didaur ulang atau tidak. Dan, apakah dalam prosesnya memperhatikan nasib buruh pekerja.

"Sebagai konsumen, Anda berhak untuk tidak membeli pakaian yang tidak bisa dipertanggung jawabkan latar belakang pembuatannya. Anda harus berani melakukan itu." (Stella McCartney, desainer busana dalam film The True Cost)

Kontribusi sebagai Konsumen

Yeorobun, masalah ini rupanya tidak selesai begitu saja dengan memborong baju-baju berlabel ecofashion.

Konsumen mempunyai peran yang tidak kalah penting dibanding produsen. Sebab, fase konsumsi pakaian mempunyai dampak yang lebih besar daripada fase produksinya. Cara kita memperlakukan baju dan fashion item lainnya menentukan tingkat sustainability (keberlanjutan) produk fesyen itu sendiri.

Seramah lingkungan apapun produksinya, kalau konsumen memperlakukannya sebagai produk fast fashion–seperti dipakai 2-3 kali saja, lalu bosan dan dibuang–yaa produk itu tidak akan mampu mengemban nilai sustainability-nya.

Di sinilah dibutuhkan kesadaran yang baik dan kritis dari kita sebagai konsumen. Kamu mungkin bertanya-tanya, bagaimana caranya kita tahu pakaian yang akan kita beli sudah sustainable atau belum. Ternyata caranya cukup mudah, yeorobun. Berikut ini adalah tips-tips yang diberikan oleh Mbak Jeanny untuk memilih fashion item yang sustainable.

1. Cek bahan baku

Bahan baku kain atau pakaian biasanya dibagi menjadi tiga jenis yaitu organik (natural), semi sintetis dan sintetis. Bahan organik terbuat dari katun, linen, rami (hemp), wol dan sutra. Semi sintetis terbuat dari rayon, viscose dan bambu. Sedangkan yang sintetis terbuat dari poliester, microfiber dan elasthane.

Produk berbahan organik seperti katun memang membutuhkan sumber daya alam yang lebih banya dan lebih mahal. Namun di akhir masa penggunaannya, produk-produk ini bisa terurai dengan mudah (dengan sendirinya) di alam.

Berbeda dengan produk berbahan sintetis. Poliester bisa diproduksi dengan cepat dan mudah. Harganya pun lebih murah. Tetapi produk ini melepaskan mikroplastik ketima dicuci dan setelah rusak pun tidak mudah diuraikan kembali.

Jadi, bijaklah memilih. Lebih baik jika membeli produk berbahan organik.

Dan, perhatikan pula pewarna yang digunakan. Ada lo pewarna tekstil yang organik. Seperti kunyit, kulit kayu, maupun tumbuh-tumbuhan lain. Pewarna ini jelas lebih ramah lingkungan karena limbahnya tidak mengandung bahan kimia berbahaya yang bisa mencemari lingkungan.

Lagipula, produk-produk lokal juga bagus kok. Tidak kalah dengan produk-produk import dari brand terkenal. Busana dari bahan organik dan pewarna alami memang cenderung lebih mahal daripada busana yang dibuat dari bahan sintetis. Tapi harga ini memang sebanding dengan kualitas dan nilai sustainability-nya, yeorobun

Although, beralih ke produk slow fashion bukan berarti langsung mengganti semua isi lemari dengan baju ramah lingkungan. Bukan. Tetap utamakan memakai baju yang sudah ada atau memodifikasinya sesuai kebutuhan. Tidak perlu beli baru. 

Tapi jika memang harus beli baru, pilihlah produk lokal yang jelas bahan baku, proses dan pembuatannya. 

pakaian ramah lingkungan

2. Cek ketahanan

Pilihlah produk yang tahan lama. Jahitannya rapi dan kuat, sehingga tidak mudah rusak dan bisa dipakai untuk waktu yang lama. Selain itu, pilih juga desain, model dan warna yang netral (everlasting). Model atau warna yang fleksibel dan simpel, sehingga cocok dipakai untuk segala momen.

3. Cek produsennya

Pilih produk lokal. Sebab produk lokal lebih minim jejak karbon yang timbul dari proses produksi dan distribusi. Lebih mudah ditelusuri asal-usulnya serta mendukung pemberdayaan SDM lokal. Dengan demikian, kesejahteraan pekerja–dalam hal ini warga lokal–tentu bisa ditingkatkan. Berbeda dengan produk import yang sulit kita telusuri asal-usulnya.

4. Cek label

Pilih pakaian yang mencantumkan label perawatannya dan kita siap atau mampu melakukannya. Selama produk itu ada di tangan kita, sudah semestinya kita merawat sebaik mungkin dan memakainya secara bijaksana. Care label! Pahami dan patuhi informasi atau instruksi yang ada dalam label pakaian.

care label guide

5. Cek isi lemari

Pilihan terbaik yang bisa dilakukan sebetulnya adalah mengurangi tingkat konsumsi kita. Poin ini sebetulnya paling penting dan paling mudah dikontrol sebagai konsumsen.

Sebelum membeli baju baru, cek kembali isi lemari. Pikirkan lagi, apakah benar-benar harus membeli. Apakah tidak ada cara lain seperti memakai kembali baju yang ada di lemari, memodifikasi baju yang sudah bosan kita pakai, atau meminjam baju dari saudara.

the buyerarchy of needs

Ada hierarkinya, yeorobun. Pakai dulu yang ada. Kalau tidak bisa, ya pinjam dulu baju dari keluarga, saudara, teman atau tetangga. Kalau tidak bisa juga, coba tukar baju dengan orang lain.

Next, kalau 'kepepet' harus beli baju ya cobalah thrifting dulu. Beli baju bekas yang masih terjaga kualitasnya. Kalau masih terpaksa harus baru, ya bikin lah dulu. Bisa dengan bikin dari awal ke penjahit atau modifikasi baju yang sudah ada.

Terakhir, membeli baru. Dalam hierarkinya, membeli adalah pilihan terakhir yang bisa diambil jika memang benar-benar terpaksa. Jika sudah tidak ada solusi lagi selain beli baru. 

"Pakaian yang paling sustainable adalah pakaian yang sudah ada dalam lemarimu." (Orsola de Castro, Fashion Revolution)

Yeorobun, aku begitu terkesima dengan cara Mbak Jeanny memaparkan materi tentang sustainable fashion ini. Begitu banyak insight baru yang aku dapatkan. Dan, pasca webinar ini muncul tekad dalam diriku sendiri untuk ikut mengkampanyekan fesyen yang ramah lingkungan ini. 

Meski belum bisa melakukannya dengan sempurna, setidaknya aku berusaha konsisten dengan apa yang aku upayakan sekarang. Seperti mengurangi tingkat konsumsi pakaian, memodifikasi baju yang sudah lama tidak terpakai, tidak beli baju baru, memilih thrifting kalau memang terpaksa, hingga menjaga semangat dan konsistensi berclodi

Inspirasi dan semangat inilah yang ingin tularkan kepada orang lain. Kalau kita bisa bersama-sama mewujudkan ikhtiar ini, aku yakin alam dan Bumi bisa lebih baik lagi ke depannya, demi warisan kepada anak-cucu generasi berikutnya. 

Kamu bisa menyimak webinar ini langsung dari YouTube Klodiz-Minikinizz.

SUMMARY

Yeorobun, fesyen merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan berkaitan erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Industri fesyen banyak menarik minat dan perhatian sehingga menjadi salah satu industri modern yang terbesar di dunia.

Ironisnya, perkembangan industri fesyen tidak diimbangi dengan kesadaran ekologi dan sosial. Dalam webinar Fesyen yang Ramah Lingkungan, Mbak Jeanny Primasari selaku pemateri memaparkan secara runut bagaimana industri fast fashion ini berdampak besar pada kelestarian alam dan turut menyumbang limbah yang berimbas pada bencana iklim global.

Slow fashion atau sustainable fashion adalah solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Sebagai konsumen, kita memiliki peran penting untuk menanggulangi dampak fast fashion. Berbagai usaha bisa dilakukan, meski yang paling sederhana namun besar impact-nya adalah mengurangi atau mengontrol tingkat konsumsi diri.

Sisi kelam industri fesyen yang terungkap membuat kita harus berpikir ulang sebelum membeli pakaian. Tidak perlu selalu mengikuti trend mode yang tidak ada habisnya. Sikap peduli, sadar, kritis dan bijaksana adalah kunci utama mengurangi dampak negatif industri fesyen yang membabi buta. Jadi, bagaimana langkahmu selanjutnya? Ceritakan di kolom komentar, ya!

REFERENSI

  1. Report on Bangladesh  Building Collapse Finds Widespread Blame -  https://www.nytimes.com/2013/05/23/world/asia/report-on-bangladesh-building-collapse-finds-widespread-blame.html
  2. Dokumenter The True Cost Ungkap Seramnya  Efek Fesyen Murah - https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150726095215-220-68164/dokumenter-the-true-cost-ungkap-seramnya-efek-fesyen-murah
  3. The Despicable Face of Fast Fashion - https://internationaljournalofresearch.com/2020/08/01/the-despicable-face-of-fast-fashion/
  4. Fast Fashion Desolates Future Shop Salvage Sabotage - https://impakter.com/fast-fashion-desolates-future-shop-salvage-sabotage/

Alfia D. Masyitoh
Sometimes you may find me as Marcellina Kim. Lifestyle blogger, content writer and clodi enthusiast who loves EXO Baekhyun and SF9 Rowoon. Part of EXO-L and Fantasy.

Related Posts

13 comments

  1. Kalau aku memang ngga begitu ngikutin fesyen mbak. Selagi masih bisa digunakan aku ga prnah beli baju. Mngkne fotoku baju e itu2 muluu.. btw artis nadien juga lg ada gerakan seperti ini. Aku lupa nama instagram komumitasnyaaa. 😁

    ReplyDelete
  2. dibalik glamour selalu ada sisi kelam yang mengenaskan yaa.. jadi merasa bersalah liat tumpukan baju di lemari 😔

    ReplyDelete
  3. Peduli sadar kritis dn bijaksana memang diperlukan untuk menjaga lingkungan kita. Dampaknya luar biasa sekali industri fesyen ini, harus byk berpikir lagi sebelum membeli pakaian, selain efek lingkungan jg hisabnya nanti.

    ReplyDelete
  4. Jadi mikir kalo artis kan sering bajunya kayak cuma dipake sekali gitu ya...

    ReplyDelete
  5. Aku ingin menerapkan hidup minimalis atau apalah namanya itu lupa. Bertahan dg baju yg ada di lemari. Tp hidup bersosialisasi menuntut kita jd menuh²in lemari. Seragam untuk acara a b c udah beda².

    ReplyDelete
  6. sering mendengar sustainable energy....baru ini mmbaca tentang sustainable fashion dan dmpak industri fashion pada lingkungan...sepakat untuk berfikir trlebih dahulu sblum membeli...butuh atau hnya keinginan sja .....

    ReplyDelete
  7. Untungnya saya jarang beli baju. Gk ngikut fesyen yg up to date jg. Jadi ngerasa bersalah sama baju² yg gk dipake lagi. Gk kepikiran sampe situ😔

    ReplyDelete
  8. Aku di level pakai apa yang ada mba. Makanya ini semangat nurunin berat biar ga perlu beli baju baru, hehehe

    ReplyDelete
  9. Banyak orang yang belum sadar akan limbah fashion, padahal fashion salah satu penyumbang sampah dan limbah terbesar lho. Salah satu cara untuk mengurangi dampak buruk dari fashion adalah kembali ke slow fashion dan mulai membangun capsule wardrobe, agar pakaian tidak menumpuk dan terbuang percuma :)

    ReplyDelete
  10. Curhat dikit ya kak. Awal kenal clodi saya sangat kemakan iklan. Ternyata.. mengecewakan

    ReplyDelete
  11. Mengerikan sekali. Dalam berpakaian memang harus hati hati sih, ga bisa asal bosan langsung beli. Tumpukan pakaian bekas yang menggunung itu memang nyata adanya. Jika bosanan, bisa memadu padankan outfit dan membelinbajunyang timeless

    ReplyDelete
  12. Baru paham sama fakta ini. Ngeri juga ya sama limbahnya. Walaupun fakta ini diketahui publik, saya agak kurang yakin masyarakat akan cukup sadar terhadap kontrol konsumsi fashionnya, secara iklan marketing lebih masif ketimbang edukasi terkait fakta ini.

    ReplyDelete
  13. limbah feshyen seharusnya bisa diolah menjadi barang baik lainnya, sehingga tidak menjadi polusi dan mengganggu

    ReplyDelete

Post a Comment